Laman

Rabu, 11 Juli 2012

study case (kekerasan sexual terhadap anak)


Artikel Jane Doe (bukan nama sebenarnya dari Nicole Taus) adalah Salah seorang subjek dari penelitian Elizabeth Loftus mengenai kekerasan seksual terhadap anak. Dalam hal ini Jane Doe mendapatkan kekerasan seksual dari ibu kandungnya. Pada tahun 1997, David Corwin menerbitkan sebuah artikel Isu penganiayaan anak "Videotaped discovery of a reportedly unrecallable memory of child sexual abuse: comparison with a childhood interview videotaped 11 years before.” Atau "penemuan Rekaman video yang memanggil ulang ingatan pelecehan seksual anak: perbandingan dengan wawancara masa kecil subjek yang direkam 11 tahun sebelumnya." Wanita yang disamarkan namanya menjadi Jane Doe, telah setuju untuk mempublikasikan artikel kasus nya dengan Corwin. Loftus, selanjutnya dengan University of Washington dan Melvin Guyer, dengan University of Michigan dan detektif swasta memastikan identitas sesungguhnya dari Jane Doe. Mereka mewawancarai ibunya, saudara, ibu tiri dan ibu angkat. Peneliti juga mencoba untuk menghubungi Jane Doe tapi gagal. Pada bulan Mei dan Juli 2001, dua artikel dalam Skeptical Inquirer berjudul “Who abused Jane Doe?” Yang diterbitkan oleh Loftus dan Guyer. Loftus dan Guyer tidak menghubungi Corwin atau Jane untuk meminta persetujuan mereka untuk mengkonfirmasi identitasnya atau untuk berbicara dengan pengasuh-nya. Loftus juga tidak menanggapi Universitas Washington Institutional Review Board (IRB) dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan mereka tentang penelitiannya Jane Doe. Ini karena Loftus diklaim Michigan telah memberi mereka izin untuk melanjutkan dengan penelitian. Corwin dihubungi University of Michigan IRB dan diberitahu bahwa mereka tidak memiliki catatan persetujuan Guyer atas kasus ini. Universitas telah memutuskan bahwa studi ini tidak datang dalam ruang lingkup universitas. Corwin mengklaim penelitian tersebut tidak mendapat ijin untuk diteruskan, karena IRB tidak memberikan bimbingan atau persetujuan, dan bahwa IRB tidak melarang peneliti dari kehati-hatian menentukan apakah untuk dilanjutkan atau tidak. Persetujuan pada satu lembaga tidak memberikan persetujuan untuk lembaga lain. Bahkan jika Guyer memang memiliki persetujuan, yang ia tidak memilikinya, ini tidak memberikan persetujuan Loftus tanpa perjanjian sebelum melakukan penelitian ini. John Slattery, direktur UW Kantor Ilmiah Integritas pada tahun 1997 menyatakan bahwa Loftus 'akan harus meminta izin UW untuk wawancara dan mungkin akan diminta untuk memberikan UW's IRB daftar pertanyaan yang ditanyakan dan membentuk menjelaskan risiko diwawancarai. Loftus menghadapi gugatan dari Jane Doe (Nicole Taus) di Solano County, California. Hal tersebut dikarenakan Loftus mempublikasikan identitasnya, melakukan wawancara terhadap ibunya, saudara, ibu angkat dan ibu tiri jane Done tanpa ijin dari subjek penelitian. Jane mengatakan kepada para pejabat Universitas Washington bahwa dia tidak setuju apabila Loftus 'menemui ibunya dan ibu tirinya untuk wawancara. Namun Loftus tetap melakukannya. Loftus mengaku berteman dengan ibu kandung Jane. Loftus mengakui bahwa dia melakukan hal itu sebagian besar karena didorong oleh keinginannya untuk menyatukan ibu dan anak perempuannya (Jane). Loftus juga percaya bahwa aturan kerahasiaan yang digunakan untuk melindungi pasien atau subyek penelitian tidak boleh digunakan untuk menyembunyikan kebenaran. Loftus dibebaskan dari kesalahan oleh komite UW (University of Washington), namun panitia yang dibutuhkan dia untuk mendapatkan izin dari IRB sebelum berbicara dengan ibu Jane lagi. Komite juga ingin Loftus untuk mengambil kelas etika '. Setelah itu, Loftus meninggalkan UW untuk University of California, Irvine. Loftus dan beberapa pihak lain dituduh memfitnah, melakukan pencemaran nama baik,dan terancam hukuman kelalaian yang disengaja, melakukan invasi emosional privasi, penderitaan dan kerusakan karena penelitian Loftus tersebut mengungkap informasi pribadi dan identitas subjek, serta melakukan hal diluar persetujuan subjek. Analisis Kasus Kasus di atas setidaknya melanggar beberapa kode etik yaitu melanggar "Prinsip Etis Psikolog" diadopsi oleh APA Majelis Perwakilan tahun 1981, dinyatakan dalam prinsip 5 tentang kerahasiaan dimana psikolog harus menghormati kerahasiaan informasi klien. Di Indonesia kasus ini melanggar Kode Etik Psikologi: 1.Prinsip umum, Pasal 2 Prinsip A2 mengenai penghormatan martabat setiap orang serta hak-hak individu akan keleluasaan pribadi, kerahasiaan, dan pilihan pribadi seseorang. 2.Pasal 16, mengenai hubungan majemuk. 3.Pasal 20, mengenai informed consent 4.Pasal 23/2b, mengenai laporan psikologis untuk kepentingan khusus dibuat sesuai dengan kebutuhan dan tetap mempertimbangkan unsur-unsur ketelitian dan ketetapan hasil pemeriksaan serta menjaga kerahasiaan orang yang mengalami pemeriksaan psikologis. 5.Pasal 24/c, mengenai kerahasiaan data, dimana dapat dikomunikasikan dengan pihak ketiga hanya bila pemberitahuan ini diperlukan untuk kepentingan pengguna layanan psikologi, profesi, dan akademisi. Dalam kondisi tersebut identitas orang yang menjalani pemeriksaan psikologi tetap dijaga kerahasiaanya. 6.Pasal 27/1,2, mengenai pemanfaatan informasi dan hasil pemeriksaan untuk tujuan pendidikan atau tujuan lain. 7.Pasal 44, mengenai aturan dan izin penelitian 8.Pasal 46 mengenai informed consent penelitian. Dalam kasus diatas, tampaknya Loftus telah melanggar setidaknya lima kode etik, kerahasiaan subjek penelitian, informed consent, mengenai aturan dan izin penelitian, mengenai partisipasan penelitian dan hubungan ganda/majemuk. Pertama saya akan melihat kerahasiaan. Dalam "Prinsip Etis Psikolog" diadopsi oleh APA Majelis Perwakilan tahun 1981, dinyatakan dalam Prinsip 5 tentang kerahasiaan dimana psikolog harus menghormati kerahasiaan informasi yang mereka peroleh dalam proses pekerjaan mereka. Psikolog hanya diperbolehkan untuk mengungkapkan informasi ini dengan persetujuan dari orang atau perwakilan hukum mereka, dengan pengecualian di mana rahasia tersebut jelas dapat menyebabkan bahaya kepada orang atau orang lain. Berdasarkan bagian B menyatakan lebih lanjut bahwa psikolog yang menyajikan informasi pribadi yang diperoleh selama kerja profesional perlu mendapatkan persetujuan terlebih dahulu atau menyamarkan informasi yang memadai. Nampaknya Loftus tidak mendapatkan persetujuan sebelumnya atau menyembunyikan informasi yang memadai. Prinsip umum Kode Etik Indonesiapun menjelaskan dalam Pasal 2 Prinsip A2 bahwa psikolog harus menghormati martabat setiap orang serta hak-hak individu akan keleluasaan pribadi, kerahasiaan, dan pilihan pribadi seseorang. Pada kode etik APA 1992, mengenai pedoman untuk pengungkapan informasi adalah bahwa psikolog hanya diperbolehkan untuk mengungkapkan informasi rahasia tanpa persetujuan individu dalam kasus berikut, 1).untuk membantu menyediakan layanan klien 2).untuk mendapatkan konsultasi profesional yang tepat 3).untuk melindungi klien atau orang lain dari bahaya 4).untuk mendapatkan pembayaran untuk layanan yang diberikan, dan pengungkapan hanya terbatas pada batas minimum yang diperlukan untuk melakukan hal tersebut. Alasan Loftus 'untuk melanggar kerahasiaan adalah untuk mengekspos kebenaran, tetapi ini tidak termasuk dalam salah satu pedoman APA untuk melanggar kerahasiaan. Namun, kadang-kadang terjadi konflik antara prestasi ilmiah dan masalah etika. Peneliti mungkin menganggap perlu untuk melanggar kerahasiaan subjek untuk meningkatkan data mereka untuk membantu orang lain. Namun dengan perencanaan yang peka dan matang, masalah etika dapat diminimalkan. Psikolog bertanggung jawab untuk mencari saran bila nilai-nilai ilmiah dapat menyebabkan konflik dan melakukan kompromi dengan Prinsip Etika APA. Investigator juga bertanggung jawab untuk menghilangkan konsekuensi negatif sebagai hasil dari hubungan partisipasif. Prinsip-prinsip etis APA tentang kerahasiaan dalam kaitannya dengan etika penelitian dan melakukan penelitian. Ketika mendiskusikan kerahasiaan, ada beberapa persamaan antara etika hubungan klien-terapis dan hubungan peserta-peneliti. Pdrbedaan antara keduanya dapat menyebabkan masalah tambahan untuk penelitian psikolog. Klien terapi biasanya menyadari bahwa mereka menerima layanan. Subjek penelitian mungkin tidak selalu mengetahui hal ini. Tujuan terapi adalah penyembuhan klien. Tujuan dari penelitian ini adalah penyebaran informasi.bSeorang Terapis, karena hubungannya dekat dengan klien, kemungkinan besar tau apa saja yang akan menyakiti klien daripada peneliti, itu yang membuat klien merasa lebih nyaman. Subyek penelitian kurang dikenal oleh peneliti, karena sifat penelitian yang formal dan dangkal. Menurut Prinsip etika APA, informasi yang diperoleh tentang peserta penelitian selama penelitian harus dijaga kerahasiaannya kecuali telah melakukan perjanjian di muka. Loftus dalam "Who abused Jane Doe?" Juga membahas etika kertas nya. Dia percaya adalah etis untuk memeriksa studi kasus awal. Studi kasus harus terbuka untuk peer review dan hasilnya harus diulang. Dia percaya bahwa orang lain wajib untuk memeriksa data seperti yang selama ini dapat dilakukan tanpa menyakiti atau menyebabkan kerusakan yang tidak semestinya. Dia menyatakan bahwa meskipun ia telah mendapatkan izin ibu jane Doe untuk berbicara dengan Jane Doe, ia tidak melakukannya karena fakta bahwa mungkin membingungkan untuk Jane Doe dan bahwa keyakinan Jane Doe mungkin telah terkontaminasi. Ide untuk menghapus atau bahkan tidak memeriksa beberapa data karena kemungkinan kontaminasi, sementara hanya menerima kesaksian orang lain sebagai data yang valid adalah masalah etika yang terpisah. Psikolog tidak boleh menekan data yang tidak mengkonfirmasi hasil penelitian mereka. Kode Etik Indonesia, Pasal 23/2b, mengenai laporan psikologis untuk kepentingan khusus dibuat sesuai dengan kebutuhan dan tetap mempertimbangkan unsur-unsur ketelitian dan ketetapan hasil pemeriksaan serta menjaga kerahasiaan orang yang mengalami pemeriksaan psikologis. Jane Doe tidak memberikan ijin kepada peneliti untuk menghubungi orangtuanya. Namun peneliti justru mewawancarai orang tua Jane Doe mengenai kebenaran informasi alih-alih menghubungi Jane Doe untuk mengklarifikasi kebenara informasi. Dalam Kode Etik Indonesia pasal 24/c, dijelaskan mengenai kerahasiaan data, dimana dapat dikomunikasikan dengan pihak ketiga hanya bila pemberitahuan ini diperlukan untuk kepentingan pengguna layanan psikologi, profesi, dan akademisi. Dalam kondisi tersebut identitas orang yang menjalani pemeriksaan psikologi tetap dijaga kerahasiaanya. Kedua tentang Informed Consent yaitu subyek yang menyetujui untuk berpartisipasi dalam penelitian setelah menerima penjelasan tentang penelitian dan risiko Kode etik menyatakan bahwa peserta penelitian harus sepenuhnya diberitahu bahwa mereka terlibat dalam penelitian dan dapat mengambil keputusan apakah akan berpartisipasi atau tidak dalam penelitian. Persetujuan sukarela subjek penelitian adalah penting. Subjek eksperimental harus mengetahui berapa lama percobaan, alasan untuk percobaan, tujuan percobaan, bagaimana hal ini akan dilakukan, semua bahaya dan ketidaknyamanan yang mungkin disebabkan dan efek atas diri mereka sendiri dari partisipasi mereka dalam percobaan. Dalam kasus ini sangat tidak mungkin bahwa Jane Doe memberikan informed consent dari apapun untuk Loftus dan Guyer, juga bukan kemungkinan dia tidak memberikan informasi dari salah satu kriteria tersebut di atas. Hal ini diterangkan pula dalam Kode Etik Indonesia Pasal 20, mengenai informed consent dan Pasal 46 mengenai informed consent penelitian. Informed consent adalah persetujuan dari subjek penelitian. Aspek-aspek yang perlu dicantumkan dalam informed consent adalah : a.Kesediaan untuk mengikuti penelitian dan atau pemeriksaan psikologis tanpa paksaan, perkiraan lamanya penelitian dan atau pemeriksaan psikologis b.Perkiraan lamanya penelitian dan atau praktik psikologi c.Gambaran tentang apa yang akan dilakukan dalam proses penelitian, dan atau praktik tersebut d.Keuntungan dan atau risiko yang dialami selama proses tersebut e.Jaminan kerahasiaan selama proses tersebut f.Orang yang bertanggung jawab jika terjadi efek samping yang merugikan selama proses tersebut. Tampaknya Loftus tidak memperhatikan proses dalam penelitiannya. Seharusnya dia menemui Jane Doe dan menjelaskan Tujuan penelitian, jangka waktu dan prosedur, antisipasi dari keikutsertaan, yang bila diketahui mungkin dapat mempengaruhi kesediaan untuk berpartisipasi, seperti risiko yang mungkin timbul, ketidaknyamanan, atau efek sebaliknya; keuntungan yang mungkin diperoleh dari penelitian; hak untuk menarik diri dari kesertaan dan mengundurkan diri dari penelitian setelah penelitian dimulai, konsekuensi yang mungkin timbul dari penarikan dan pengunduran diri; keterbatasan kerahasiaan; insentif untuk partisipan; dan siapa yang dapat dihubungi untuk memperoleh informasi lebih lanjut. Jika partisipan penelitian tidak dapat membuat persetujuan karena keterbatasan atau kondisi khusus, Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi melakukan upaya memberikan penjelasan dan mendapatkan persetujuan dari pihak berwenang yang mewakili partisipan, atau melakukan upaya lain seperti diatur oleh aturan yang berlaku, seperti yang disebutkan pasal 46 Kode Etik Indonesia 1 (a,b). Penelitian tidak harus memerlukan persetujuan partisipan antara lain penelitian arsip seperti yang dilakukan Loftus, hanya saja hal tersebut tidak akan menempatkan partisipan dalam resiko pencemaran nama baik dan kerahasiaan, dimana ini terjadi pada penelitian Loftus. Data penelitian tidak boleh digunakan dengan cara apapun di luar itu yang diberikan izin. Jane Doe memberikan persetujuan untuk studi awal, tapi ia tampaknya tidak memberikan persetujuan untuk studi kedua. Loftus mengakui bahwa dia bisa dihubungi Jane Doe untuk mewawancarainya, tetapi memilih untuk tidak melakukannya. Seperti yang disebutkan sebelumnya, Loftus tidak menelepon Corwin sampai penelitian kasusnya berjalan. Kode Etik Indonesia Pasal 27/1,2, menerangkan mengenai pemanfaatan informasi dan hasil pemeriksaan untuk tujuan pendidikan atau tujuan lain harus memiliki ijin tertulis dari yang bersangkutan dan menyamarkan nama lembaga atau perorangan yang datanya digunakan. Ketiga Loftus berperan ganda sebagai peneliti dan teman dari ibu Jane Doe hal ini dapat mengakibatkan kekacauan. Hubungan ganda mungkin juga menghancurkan ketidakberpihakan Loftus 'dalam kasus ini, dan mungkin melemahkan penelitiannya Beberapa etika laboratorium tidak diterjemahkan dengan baik untuk penelitian di luar laboratorium. Dilema etika baru mungkin terjadi di luar laboratorium. psikolog sosial menggunakan apa yang disebut metode non-reaktif ketika subjek penelitian tidak menyadari mereka sedang diamati. Hal ini akan menghalangi persetujuan informasi terlebih dahulu dan kontrak sukarela. Orang dapat diamati dalam setting sosial atau pengaturan (mengubah) dibikin. Prinsip-prinsip etika APA memungkinkan penelitian meminimalkan- risiko tanpa persetujuan dalam kondisi ini. Namun definisi minimal-risiko mungkin sulit untuk ditemukan, invasi privasi dan penipuan mungkin terlibat. Kedua dapat dianggap sebagai syarat yang cukup untuk menyebabkan resiko. masalah etis dalam kasus ini dapat diminimalisasi jika data tidak dapat dihubungkan dengan yang diamati. Ketika peserta percaya mereka berada dalam setting pribadi, seperti rumah sendiri, ditambah masalah etika muncul ketika eksperimen yang diam-diam merebak dalam setting ini. Tanggung jawab peneliti adalah bekerja di bawah kondisi yang terlibat dalam kasih, pekerjaan yang menyediakan data yang akurat. Peneliti juga harus yakin grup atau subjek tidak dirugikan karena sedang dipelajari. Sebuah kasus dapat terjadi bahwa karena pelanggaran kerahasiaan dan terlalu masuk ke dalam kehidupan pribadi Jane Doe dan kehidupan keluarganya, informed consent Jane sebelum penelitian kasus ini akan etis dimandatkan. Jane juga menuduh dia dirugikan oleh penelitian. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, adalah tanggung jawab etis peneliti untuk memastikan yang demikian tidak terjadi. Kode Etik Indonesia pasal Pasal 44, mengenai aturan dan izin penelitian juga mengatur kegiatan di bidang riset, dimana ilmuwan psikologi atau psikolog harus memperhatikan etika. Psikolog harus memperhatikan dan bertanggungjawab terhadap hak dan kesejahteraan peserta penelitian, atau pihak lain yang mungkin terkena dampak dari pelaksanaan riset. Dalam penelitian psikolog harus memenuhi aturan hukum dan ketentuan yang berlaku dalam hubungan sebagai warga Negara, baik dalam perencanaan maupun pelaksanaanya. Ijin penelitian dari wilayah yang menjadi lokasi penelitian harus diperoleh sesuai dengan aturan yang berlaku, sejalan dengan aturan professional yang harus diikuti, terutama dalam kaitan dengan pelibatan orang dalam penelitian. Selain izin penelitian, persetujuan dari badan setempat untuk melakukan riset juga harus diperoleh, dengan memberikan informasi akurat tentang riset yang tertuang dalam proposal dan protocol penelitian. Ilmuan psikologi atau psikolog harus membuat perjanjian dengan pihak yang dilibatkan, sebelum dilakukan riset, melalui penjelasan tentang macam kegiatan riset dan tanggungjawab masing-masing pihak. Psikolog tidak boleh menipu atau menutupi, yang kalau peserta itu sendiri tau maka akan mempengaruhi niatnya untuk ikut serta dalam penelitian, misalnya kemungkinan mengalami cedera fisik, rasa tidak menyenangkan, atau pengalaman emosional yang tidak disukai. Penjelasan tersebut harus diberikan sedini mungkin, dalam bentuk uraian tentang maksud dan tujuan riset, prosedur, proses yang akan dijalani, agar calon/peserta dapat mengambil kesimpulan dari riset tersebut dan memahami kaitannya dengan dirinya. Dalam pelaksanaan riset tentu diperlukan informed consent (Pasal 46) yang dinyatakan secara formal. Selain tertulis psikolog harus menjelaskan secara lisan agar dapat dipahami dengan benar. Dalam penyampaian penjelasan baik lisan maupun tulisan, digunakan bahasa atau istilah yang mudah dipamahi oleh peserta riset. Pernyataan persetujuan didokumentasikan sesuai keperluan. Dalam hal pemanfaatan dan penyebaran hasil riset, sehubungan dengan publikasi hasil penelitian, psikolog menginformasikan kepada peserta riset, dengan tujuan agar peserta riset membantunya dalam mengantisipasi berbagai kemungkinan dimasa mendatang, misalnya kemungkinan pemunculan identitas atau hasil riset untuk berbagai kepentingan lainnya. Kasus tersebut berdasar kode etik Indonesia melanggar Pasal 23/2b menyangkut Kerahasiaan data dan hasil pemeriksaan psikologis. Ilmuwan Psikologi dan Psikolog wajib memegang teguh rahasia yang menyangkut klien atau pemakai jasa psikologi dalam hubungan dengan pelaksanaan kegiatannya. Dalam hal ini keterangan atau data mengenai klien yang diperoleh Ilmuwan Psikologi dan Psikolog dalam rangka pemberian jasa/praktik psikologi dapat dikomunikasikan dengan bijaksana secara lisan atau tertulis kepada pihak ketiga hanya bila pemberitahuan ini diperlukan untuk kepentingan klien, profesi, dan akademisi. Dalam kondisi tersebut identitas orang atau klien yang bersangkutan tetap dirahasiakan (Pasal 24/c). Ilmuan psikologi mempunyai kewajiban utama untuk menjaga kerahasiaan klien yang menjadi hak klien yang ditanganinya dan menyadari bahwa kerahasiaan itu dilindungi oleh undang-undang, peraturan, atau dalam hubungan professional dan ilmiah. Dalam pelaksanaan tugasnya mereka harus berusaha untuk tidak mengganggu kehidupan pribadi klien. Kalaupun diperlukan harus diusahakan seminimal mungkin. Dalam hal diperlukan laporan, baik lisan maupun tulisan, sebatas perjanjian atau kesepakatan yang telah dibuat. Dalam hal diperlukan pengungkapan rahasia, maka psikolog dapat membuka rahasia tanpa persetujuan klien hanya dalam rangka keperluan hokum. Pengungkapan rahasia, baik sebagian atau seluruhnya hanya boleh dilakukan atas persetujuan klien, sejauh tidak dilarang oleh hokum. Dalam Pasal 16, Kode Etik Indonesia mengenai hubungan majemuk, psikolog harus menahan diri dari memasuki atau menjanjikan hubungan lain yang bersifat pribadi, ilmiah, professional, financial dan hubungan lain dengan pribadi-pribadi tersebut, terutama bila tampaknya akan cenderung mempengaruhi objektifitas atau mempengaruhi efektivitas kerja mereka, atau juga merugikan pihak lain tersebut. Bilamana mungkin, mereka menahan diri untuk tidak mengambil kewajiban professional atau ilmiah bila sebuah hubungan yang sudah ada sebelumnya dapat menimbulkan resiko merugikan. Bila ilmuan psikologi atau psikolog menemukan tanda-tanda hubungan ganda yang berpotensi merugikan, mereka berusaha menyelesaikannya dengan mengutamakan kepentingan pribadi yang terlibat, dan dengan kepatuhan maksimal kepada kode etik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar