BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Manusia
adalah satu-satunya makhluk
yang mengembangkan
pengetahuan secara sungguh-sungguh. Binatang
juga mempunyai pengetahuan, namun
hanya terbatas untuk kelangsungan hidupnya (survival). Misalnya seekor
anak tikus tahu
mana kucing yang ganas.
Anak tikus tentu saja
diajar induknya untuk
sampai pada pengetahuan
bahwa kucing itu berbahaya. Tetapi
dalam hal ini
berbeda dengan tujuan
pendidikan manusia, anak tikus
hanya diajari hal-hal yang menyangkut kelangsungan hidupnya.
Manusia mengembangkan
pengetahuannya mengatasi kebutuhan kelangsungan
hidupnya. Manusia memikirkan
hal-hal baru, menjelajah
ufuk baru, karena manusia bukan
sekadar untuk kelangsungan hidup, namun lebih dari
itu yaitu manusia
memanusiakan diri dalam
hidupnya. Sukar untuk dibayangkan
bagaimana kehidupan manusia seandainya pengetahuan itu tidak ada, sebab
pengetahuan merupakan sumber jawaban bagi berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan.
Kemampuan menalar
menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuan
yang merupakan rahasia-rahasia kekuasaan- Nya. Untuk mengetahui lebih dalam
tentang pengetahuan itu sendiri, di dalam makalah ini akan dijelaskan secara rinci
tentang dasar-dasar pengetahuan.
B.
Rumusan
dan Batasan Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah di
atas, maka dirumuskan masalah
tentang apa saja
dasar-dasar pengetahuan. Pembahasan
dalam makalah ini
akan dibatasi pada
penjelasan tentang penalaran,
logika, sumber pengetahuan dan kriteria kebenaran.
C.
Tujuan
Penulisan
Tujuan penulisan
adalah untuk menjelaskan
tentang dasar-dasar pengetahuan
yang meliputi penalaran,
logika, sumber pengetahuan
dan kriteria kebenaran.
BAB II
DASAR-DASAR PENGETAHUAN
A.
Pengertian
dan Dasar-dasar Pengetahuan
Mendefinisikan pengetahuan
merupakan kajian panjang
sehingga terjadi pergulatan
sejarah pemikiran filsafati dalam menemukan pengertian pengetahuan.
Hal ini wajar
karena “keistimewaan” filsafat
adalah perselisihan, pergumulan
pemikirannya itu berlangsung
terus selamanya. Suatu
produk pemikiran filsafat
selalu ada yang
menguatkan, mengkritik, melemahkan
bahkan akan ada yang merobohkan
pemikiran itu. Kelakpun akan
dijumpai yang satu
menegaskan sedang yang
lain mengingkari. Begitulah seterusnya akan selalu berada dalam
bingkai dialektika.
Sedangkan Ilmu
merupakan pengetahuan yang
terorganisasi dan diperoleh
melalui proses keilmuan.
Sedangkan proses keilmuan
adalah cara memperoleh
pengetahuan secara sistematsi
tentang suatu sistem. Perolehan
sistematis ini biasanya
atau pada umunya
berupa metode ilmiyah. Dari
proses metode ilmiah itu melahirkan “science”. Science atau tepatnya Ilmu pengetahuan memilki arti
spesifik bila digandengkan dengan ilmu pengetahuan
yaitu sebagai kajian
keilmuan yang tersistematis sehingga menjadi teori ilmiah-obyektif ( dapat
dibuktikan secara empiris ) dan prediktif
( menduga hasil
empiris yang bisa
diperiksa sehingga bisa jadi
hasilnya bersesuaian atau bertentangan dengan realita empiris).
Pengetahuan dalam
pandangan Rasionalis bersumber
dari “Idea”. Tokoh awalnya
adalah Plato (427-347).
Menurutnya alam idea
itu kekal, tidak berubah-ubah. Manusia semenjak lahir
sudah membawa idea bawaan sehingga tinggal
mengingatnya kembali untuk
menganalisa sesuatu itu.
Istilah yang
digunakan Rene Descartes
(1596-1650) sebagai tokoh rasionalis
dengan nama “innete idea”.
Penganut rasionalis tidak
percaya dengan inderawi karena
inderawi memiliki keterbatasan
dan dapat berubah-ubah. Sesuatu yang tidak mengalami
perubahan itulah yang dapat dijadikan
pedoman sebagai sumber ilmu pengetahuan. Aristatoles dan para penganut
Empirisme-Realisme menyanggah
yang disampaikan oleh
kaum Rasionalis. Mereka berdalih
bahwa ide-ide bawaan itu tidak ada. Hukum- hukum dan
pemahaman yang universal
bukan hasil bawaan
tetapi diperoleh melalui proses
panjang pengamatan empiric manusia. Aristoteles berkesimpulan
bahwa ide-ide dan
hukum yang universal
itu muncul dirumuskan
akal melalui proses
pengamatan dan pengalaman
inderawi. Pengetahuan yang
tidak bisa diukur
dan dibuktikan dengan empiric-realitas-material merupakan
pengetahuan yang hayali, tahayul dan bohong (mitos).
Aliran empirisme
menyatakan bahwa pengetahuan
itu diperoleh melalui
pengalaman-pengalaman yang konkrit. Sedangkan aliran rasionalis
berpendapat bahwa pengetahuan
manusia didapatkan melalui penalaran
rasional. Kedua pendekatan
ini merupakan cikal
bakal lahirnya positivisme modern dalam kajian keilmuan.
B.
Dasar-dasar
Pengetahuan
1.
Penalaran
Kemampuan
menalar menyebabkan manusia
mampu mengembangkan pengetahuan yang merupakan rahasia
kekuasaan-kekuasaan – Nya. Secara simbolik
manusia memakan buah pengetahuan lewat Adam dan Hawa, dan setelah
itu manusia harus
hidup berbekal pengetahuannya itu.
Dia mengetahui apa yang benar dan
apa yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk,
serta mana yang
indah dan mana
yang jelek. Secara
terus menerus dia selalu hidup
dalam pilihan. Manusia adalah
satu-satunya makhluk yang
mengembangkan pengetahuan ini
sungguh-sungguh. Binatang juga
mempunyai pengetahuan, namun
pengetahuan ini terbatas
hanya untuk kelangsungan hidupnya.
Manusia mengembangkan pengetahuannya mengatasi kebutuhan-kebutuhan kelangsungan
hidup ini. Dan
memikirkan hal-hal baru,
menjelajah ufuk baru,
karena dia hidup
bukan sekedar untuk kelangsungan hidupnya,
namun lebih dari
pada itu. Manusia mengembangkan
kebudayaan; memberi makna
bagi kehidupan; manusia „memanusiakan”
diri dalam dalam
hidupnya. Intinya adalah
manusia di dalam hidupnya mempunyai tujuan tertentu yang
lebih tinggi dari sekedar kelangsungan hidupnya.
Inilah yang membuat
manusia mengembangkan pengetahuannya
dan pengetahuan ini mendorong manusia
menjadi makhluk yang bersifat
khas. Pengetahuan ini mampu
dikembangkan manusia disebabkan
oleh dua hal utama:
a) Bahasa
Manusia
mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatar
belakangi informasi tersebut.
b) Kemampuan
berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu.
Secara
garis besar cara berpikir seperti ini disebut penalaran. Dua
kelebihan inilah yang
memungkinkan manusia mengembangkan pengetahuannya
yakni bahasa yang
bersifat komunikatif dan
pikiran yang mampu menalar.
Hakikat Penalaran
Penalaran
merupakan suatu proses berpikir dalam menarik sesuatu kesimpulan
yang berupa pengetahuan.
Manusia pada hakikatnya merupakan makhluk yang berpikir, merasa,
bersikap, dan bertindak. Sikap dan tindakan
yang bersumber pada
pengetahuan yang didapatkan
lewat kegiatan merasa
atau berpikir. Penalaran menghasilkan pengetahuan
yang dikaitkan dengan
kegiatan merasa atau
berpikir. Penalaran menghasilkan pengetahuan
yang dikaitkan dengan
kegiatan berpikir dan
bukan dengan perasaan.
Berpikir merupakan suatu
kegiatan untuk menemukan pengetahuan
yang benar. Apa
yang disebut benar
bagi tiap orang
adalah tidak sama
oleh sebab itu
kegiatan proses berpikir
untuk menghasilkan pengetahuan
yang benar itupun
berbeda-beda dapat dikatakan
bahwa tiap jalan pikiran mempunyai apa yang disebut
sebagai kriteria kebenaran, dan kriteria
kebenaran ini merupakan landasan bagi proses kebenaran tersebut.
Penalaran merupakan
suatu proses penemuan
kebenaran di mana tiap-tiap jenis
penalaran mempunyai kriteria
kebenaran masing- masing. Sebagai suatu kegiatan berpikir maka
penalaran mempunyai ciri- ciri tertentu. Ciri yang pertama ialah adanya suatu pola
berpikir yang secara luas dapat disebut
logika, dan tiap penalaran mempunyai logika tersendiri atau dapat
juga disimpulkan bahwa
kegiatan penalaran merupakan
suatu kegiatan berpikir
logis, dimana berpikir
logis di sini
harus diartikan sebagai
kegiatan berpikir menurut
suatu pola tertentu
atau logika tertentu. Ciri
yang kedua dari
penalaran adalah sifat
analitik dari proses berpikirnya.
Penalaran merupakan suatu
kegiatan berpikir yang menyandarkan diri
kepada suatu analisis
dan kerangka berpikir
yang digunakan untuk
analisis tersebut adalah
logika penalaran yang bersangkutan. Artinya penalaran ilmiah merupakan kegiatan
analisis yang mempergunakan logika ilmiah, dan demikian juga
penalaran lainnya yang mempergunakan
logikanya tersendiri. Sifat
analitik ini merupakan konsekuensi dari suatu pola berpikir
tertentu.
2.
Logika
Penalaran merupakan suatu
proses berpikir yang
membuahkan pengetahuan. Agar
pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar
kebenaran maka proses
berpikir itu harus
dilakukan cara tertentu. Suatu
penarikan kesimpulan baru
dianggap sahih (valid)
kalau proses penarikan
kesimpulan tersebut dilakukan
menurut cara. Cara
penarikan kesimpulan ini
disebut logika, di
mana logika secara
luas dapat didefinisikan
sebagai “pengkajian untuk berpikir
secara sahih.
Terdapat bermacam-macam cara
penarikan kesimpulan, namun
untuk sesuai dengan dengan tujuan
studi yang memusatkan diri kepada penalaran maka
hanya difokuskan kepada
dua jenis penarikan
kesimpulan, yakni logika
induktif dan logika
deduktif. Logika induktif
erat hubungannya dengan penarikan
kesimpulan dari kasus-kasus
individual nyata menjadi kesimpulan
bersifat umum. Sedangkan
logika deduktif, menarik kesimpulan
dari hal yang
bersifat umum menjadi
kasus yang bersifat individual (khusus).
a.
Induksi
Induksi merupakan
cara berpikir di
mana ditarik dari
suatau kesimpulan yang
bersifat umum dari
berbagai kasus yang
bersifat individu. Penalaran
secara induktif dimulai
dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang
bersifat khas dan
dan terbatas dalam menyusun
argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan
yang bersifat umum.
Kesimpulan yang bersifat
umum ini penting artinya karena mempunyai dua
keuntungan, yaitu :
-
Bersifat ekonomis.
-
Dimungkinkannya
proses penalaran selanjutnya.
b.
Deduksi
Penalaran deduktif
adalah kegiatan berpikir
yang sebaliknya dari penalaran
induktif. Deduksi adalah cara
berpikir dimana dari
pernyataan yang bersifat
umum ditarik kesimpulan
yang bersifat khusus.
Penarikan kesimpulan secara
deduktif biasanya menggunakan
pola berpikir yang dinamakan silogismus.
Silogismus disusun dari
dua buah pertanyaan
dan satu kesimpulan.
Pernyataan yang mendukung
silogismus ini disebut premis yang kemudian dapat dibedakan sebagai
premis mayor dan premis minor. Kesimpulan
merupakan pengetahuan yang
didapat dari penalaran deduktif berdasarkan kedua premis tersebut. Jadi
ketepatan penarikan kesimpulan
tergantung pada tiga
hal yakni kebenaran
premis mayor, kebenaran
premis minor, dan
keabsahan penarikan kesimpulan.
Sekiranya salah satu
dari ketiga unsur
tersebut persyaratannya tidak
dipenuhi maka kesimpulan
yang akan ditariknya akan salah. Matematika adalah pengetahuan yang
disusun secara deduktif.
Perasaan merupakan
suatu penarikan kesimpulan
yang tidak berdasarkan penalaran. Kegiatan berpikir juga
ada yang tidak berdasarkan penalaran, yaitu
intuisi. Intuisi adalah
suatu kegiatan berpikir
yang nonanalitik yang
tidak mendasarkan diri
kepada suatu pola
berpikir tertentu. Masih
terdapat bentuk lain
dalam usaha manusia
untuk mendapatkan pengetahuan.
Ditinjau dari hakikat
usahanya dalam menemukan kebenaran, dapat dibedakan 2 (dua) jenis pengetahuan, yaitu:
I.
Penalaran maupun
kegiatan lainnya seperti
perasaan dan intuisi
didapat dari usaha yang aktif
dari manusia.
II.
Wahyu merupakan
pengetahuan yang ditawarkan
atau diberikan, umpamanya wahyu yang diberikan Allah SWT lewat malaikat dan
nabi- nabi-Nya. Manusia dalam menemukan ini bersifat pasif sebagai
penerima pemberitahuan tersebut,
yang kemudian dipercaya
atau tidak, berdasarkan masing-masing keyakinannya.
Pengetahuan juga
dapat ditinjau dari
sumber yang memberikan pengetahuan tersebut.
Misalnya wahyu dan
intuisi, secara implisit
kita mengakui bahwa wahyu berasal dari Tuhan dan intuisi adalah sumber
pengetahuan. Dengan wahyu
didapat pengetahuan dari
keyakinan (kepercayaan)
bahwa yang diwahyukan
itu benar begitu
pula dengan intuisi,
meskipun kegiatan berpikir
intuitif tidak punya
logika dan pola pikir tertentu. Penalaran
hanya merupakan cara
berpikir tertentu. Untuk
melakukan analisis diperlukan
materi pengetahuan yang
berasal dari suatu
sumber kebenaran. Pengetahuan
yang dipergunakan dalam
penalaran pada dasarnya bersumber pada rasio (rasionalisme)
dan fakta (empirisme).
Disamping itu,
penarikan kesimpulan secara
deduktif biasanya menggunakan
pola berpikir silogismus.
Silogismus disusun dari
dua buah pernyataan (premis mayor dan premis minor)
dan sebuah kesimpulan. Contoh: Semua makhluk mempunyai mata (premis mayor) Si Polan adalah seorang makhluk hidup (premis minor) Jadi si Polan mempunyai mata (kesimpulan) Penarikan
kesimpulan deduktif tergantung
atas tiga hal
yakni. kebenaran premis
mayor, kebenaran premis
minor, dan keabsahan
pengambilan kesimpulan.
3.
Sumber
Pengetahuan
Baik logika
deduktif maupun logika
induktif, dalam proses
penalarannya menggunakan premis-premis yang berupa pengetahuan yang dianggap
benar. Untuk mendapatkan
pengetahuan yang benar
dilakukan dua cara
yaitu: pengetahuan itu
harus berdasarkan kepada
rasio (rasionalisme/
idealisme) dan berdasarkan pengalaman
(empirisme).
Kaum rasionalis
menggunakan metode deduktif
dalam menyusun pengetahuannya. Premis yang dipakai dalam
penalarannya didapatkan dari ide yang
menurut anggapannya jelas
dan dapat diterima.
Ide ini menurut
mereka bukanlah ciptaan
pikiran manusia. Secara singkat
dapat dikatakan bahwa
ide kaum rasionalis
bersifat apriori dan
prapengalaman yang didapatkan
manusia melalui penalaran
rasional. Kelemahan pemikiran
rasional cenderung bersifat
solipsistik (benar dalam
kerangka pemikiran tertentu) dan subjektif.
Sedangkan
kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia bukan
didapatkan melalui penalaran
rasional yang abstak
tapi melalui pengalaman
yang komplit. Kelemahan
pengetahuan secara empiris
ini adalah (1) pengetahuan
yang dikumpulkan cenderung
berupa fakta, fakta
tersebut belum tentu
bersifat konsisten dan
terdapat hal-hal yang
bersifat kontradiktif, (2)
hakikat pengalaman yang
merupakan cara dalam
menemukan pengetahuan dan
panca indera sebagai
alat penangkapnya. Panca
indera manusia sangat
terbatas kemampuannya sehingga
kaum empiris tidak bisa
memberikan jawaban mengenai hakikat pengalaman itu sendiri.
Selain rasionalisme
dan empirisme juga
terdapat cara untuk
mendapatkan pengetahuan yaitu:
1. Intuisi
Merupakan pengetahuan
yang didapatkan tanpa
melalui proses penalaran
tetentu. Intuisi besifat
personal dan tidak
bisa diramalkan. Selain
itu, dalam menyusun
pengetahuan secara teratur
intuisi tidak bisa
diandalkan. Pengetahuan intuisi
dapat dipergunakan sebagai
hipotesis. Untuk menemukan
kebenaran, intuitif dapat bekerja sama dengan analitik.
Contohnya:
seseorang yang sedang terpusat pikirannya pada suatu masalah tiba-tiba
saja mendapat jawaban
atas permasalahan tersebut.tanpa proses
berpikir yang berliku-liku.
2. Wahyu
Merupakan
pengetahuan oleh Tuhan kepada manusia. Pengetahuan ini
disalurkan melalui nabi-nabi
yang diutus sepanjang
zaman. Agama dimulai
dengan rasa percaya,
kepercayaan itu bisa
meningkat atau menurun.
Berbeda dengan ilmu,
ilmu dimulai dari
rasa tidak percaya,
setelah melakukan proses
pengkajian ilmiah, kita
bisa diyakinkan atau
tetap pada pendirian.
4.
Kriteria
Kebenaran
Tidak
semua manusia mempunyai persyaratan yang sama terhadap apa
yang dianggapnya benar.
Berdasarkan teori koherensi,
suatu pernyataan dianggap
benar bila pernyataan
itu bersifat koheren
atau konsisten dengan
pernyataan-pernyataan
sebelumnya yang dianggap
benar. Misalnya bila
kita menganggap bahwa
“semua manusia pasti
akan mati” adalah
suatu pernyaatan yang
benar, maka pernyataan
bahwa “si Polan
seorang manusia dan
si Polan pasti
akan mati” adalah
benar pula, sebab
pernyataan kedua adalah
konsisten dengan pernyataan
yang pertama. Dengan kata lain,
penalaran koherensi bersifat logika deduktif.
Paham lain
adalah kebenaran yang
berdasarkan teori korespondensi, dimana
eksponen utamanya adalah
Bertrand Russell (1872-1970).
Bagi penganut teori
korespondensi maka suatu
pernyataan adalah benar
jika materi pengetahuan
yang dikandung pernyataan
itu berkorespondensi (berhubungan) dengan
obyek yang dituju
oleh pernyataan tersebut.
Maksudnya jika seseorang
mengatakan bahwa “Ibu
Kota Republik Indonesia
adalah Jakarta” maka
pernyatan itu adalah
benar sebab penyataan
itu berhubungan dengan
obyek yang bersifat
faktual yakni Jakarta
yng memang menjadi
Ibu Kota Republik
Indonesia. Sekiranya orang
lain menyatakan bahwa
“Ibu Kota Republik Indonesia adalah
Bandung” maka pernyataan itu adalah tidak benar sebab tidak terdapat obyek yang dengan pernyataan
tersebut. Dalam hal ini maka secara faktual
“Ibu Kota Republik
Indonesia adalah bukan
Bandung melainkan Jakarta”. Kedua
teori kebenaran ini
yakni teori koherensi
dan teori korespondensi kedua-duanya
dipergunakan dalam cara
berpikir ilmiah.
Penalaran
teoretis yang berdasarkan logika dedukitif jelas mempergunakan teori
koherensi ini. Sedangkan
yang bersifat pembuktian
secara empiris dalam bentuk pengumpulan fakta-fakta yang
mendukung suatu pernyataan tertentu mempergunakan
teori kebenaran yang
lain yang disebut
teori kebenaran pragmatis.
Teori pragmatis
dicetuskan oleh Charles
S. Piere (1839-1914)
dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul “How
to Make
Our Ideas Clear”.
Teori ini kemudian dikembangkan
oleh beberapa ahli
filsafat yang kebanyakan
adalah berkebangsaan Amerika
yang menyebabkan filsafat ini
sering dikaitkan dengan filsafat Amerika.
Bagi seorang
pragmatis maka kebenaran
suatu pernyataan diukur
dengan kriteria apakah
pernyataan tersebut bersifat
fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya suatu pernyataan
adalah benar, jika pernyataan atau konsekuensi
dari pernyataan itu
mempunyai kegunaan praktis
dalam kehidupan manusia.
Kaum pragmatis berpaling
kepada metode ilmiah
sebagai metode untuk
mencari pengetahuan tentang
alam ini yang
dianggapnya fungsional dan
berguna dalam menafsirkan
gejala-gejala alamiah. Demikian
juga kaum pragmatis
percaya kepada agama
sebab agama bersifat
funsionil dalam memberikan
pegangan moral dan
percaya kepada demokrasi sebab demokrasi bersifat fungsional dalam
menemukan konsesus masyarakat.
Kriteria
pragmatis ini juga dipergunakan oleh para ilmuwan dalam menentukan
kebenaran ilmiah dilihat
dalam perspektif waktu.
Secara historis pernyataaan
ilmiah yang sekarang
dianggap benar suatu
waktu mungkin tidak lagi
demikian. Dihadapkan pada masalah ini maka ilmuwan bersifat
pragmatis. Selama pernyataan
itu fungsional dan
mempunyai kegunaan maka
pernyataan itu dianggap
benar, sekiranya pernyataan
itu tidak lagi
bersifat demikian disebabkan
oleh perkembangan ilmu
itu sendiri yang melahirkan pernyataan
baru, maka pernyataan
itu ditinggalkan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Penalaran merupakan
suatu proses berpikir
dalam menarik sesuatu
kesimpulan yang berupa
pengetahuan. Penalaran menghasilkan
pengetahuan yang dikaitkan dengan
kegiatan berpikir dan bukan dengan
perasaan melainkan mempunyai karakteristik tertentu dalam menemukan kebenaran.
2. Agar pengetahuan
yang dihasilkan mempunyai
dasar kebenaran, maka
proses berpikir harus
didasarkan pada logika.
Untuk mendapatkan pengetahuan yang benar dilakukan dua cara
yaitu: pengetahuan itu harus berdasarkan kepada
rasio (rasionalisme/ idealisme)
dan berdasarkan pengalaman
(empirisme). Selain itu,
pengetahuan juga bisa
didapatkan dari sumber lain yaitu
intuisi dan wahyu.
3. Ada tiga
paham tentang cara
memandang kebenaran yaitu
teori koherensi, teori
korespondensi dan teori pragmatis.
B.
Saran
Sebagai kaum
intelektual yang berupaya
untuk berpartisipasi dalam
mengambangkan pengetahuan, kita
hendaknya memahami dasar-dasar
pengetahuan dengan baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Suria
Sumantri, Jujun S. 2007. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Noor Syam,
Mohammad. 1986. Filsafat
kependidikan dan Dasar
Filsafat Kepandidikan Pancasila.
Surabaya: Usaha Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar