Laman

Rabu, 04 Maret 2015

KEKERASAN DAN PENGANIAYAAN secara Psikologi Abnormal



KEKERASAN DAN PENGANIAYAAN

Tindakan kekerasan digolongkan kedalam abnormalitas jika konteks kekerasan itu diluar kesepakatan sosial yang ada dalam suatu konteks budaya atau lokasi, serta membahayakan bagi orang yang menjadi objek kekerasan tersebut. Orang dengan gangguan psikologis biasanya rentan melakukan kekerasan. Meskipun demikian, penyalahgunaan obat, alkanol, dan riwayat kriminalitas lebih dekat dengan konteks kekerasan dibandingkan gangguan mental (Bonta, Law, & Hanson, 1998). Kekerasan juga biasanya merupakan karakteristik gangguan kepribadian antisosial dan gangguan perilaku pada anak-anak dan remaja. Kekerasan berkaitan dengan agresi manusia itu. Berikut adalah beberapa point of view terhadap kekerasan.
1)      Pendekatan Biologis.
Agresi merupakan hasil dari insting manusia yaitu pola perilaku yang menetap yang dibawa secara genetis sejak individu itu lahir dari parentalnya, dan sifatnya spesifik bagi tiap-tiap individu. Menilik pendapat Sigmund Freud, bahwa insting mendasari agresi manusia yang disebut insting kematian. Insting menurutnya bersifat self-destructive termasuk bunuh diri. Insting ini perlu untuk diekspresikan dan dilepaskan dalam bentuk tertentu. Ego bertanggung jawab terhadap ekspresi insiting dari id ini. Ego mempertimbangkan situasi sosial yang ada di sekitarnya, apakah memungkinkan untuk penyaluran insting tersebut atau tidak. Jika ya, maka insting itu disalurkan, jika tidak akan direalisasikan dalam bentuk perilaku lainnya atau akan direpresikan oleh defense mechanism ego. Apabila terjadi penumpukan dalam represi ego atau ego menjadi lemah maka sewaktu-waktu insting ini akan keluar dalam wujud perilaku agresi, karena kelebihan ego tekanan.
2)      Pendekatan Sosiobiologis.
Agresi menurut pandangan ini, merupakan hasil pembelajaran individu atas fenomena sosial yang ada di sekitarnya. Individu mungkin mewarisi disposisi-disposisi perilaku secara genetis, tetapi yang menentukannya kemudian adalah lingkungan sosialnya. Budaya, proses belajar, dan pilihan pribadi individulah yang menjadi penentu perilaku agresi itu akan dimunculkan atau tidak (Eagly, & Wood, 1991). Berarti disini terjadi kombinasi antara faktor genetis dan faktor sosial lainnya dalam pemunculan perilaku agresif tersebut (Buss, & Shacelford).
3)      Pandangan Neurobiologis Agresivitas.
Dalam pandangan ini, dijelaskan bahwa agresi muncul karena adanya peran hipotalamus pada mekanisme otak dalam memfokuskan perhatian individu. Hipotalamus mungkin mengontrol kendali perilaku agresif itu sendiri pada beberapa kingdom animalia. Pada manusia, perilaku tergantung pada proses belajar dibandingkan refleks-refleks saraf ini. Selain itu, adanya peran serotonin dalam dalam proses transmitters pada saraf manusia. Selain itu, juga perilaku agresi diasumsikan dengan derajat hormon testosteron laki-laki. Semakin tinggi derajat kuantitas hormon testosteron pada individu maka semakin besar kecenderungan dalam memunculkan perilaku agresi. Serotonin berperan dalam mengatur tepatnya menghambat kerja sistem limbik pada otak. Sistem limbik ini berperan dalam mengatur dorongan-dorongan primitif seperti makan, pengaturan emosi, belajar, ingatan, dan agresi. Tingkat serotonin yang rendah yang menunjukkan abnormalitas otak tentunya cenderung memungkinkan memunculkan perilaku agresif tersebut. Sedangkan, testosteron yang tinggipun demikian adanya pada laki-laki maupun perempuan.
4)      Pandangan Sosio-Kognitif.
Albert Bandura (1973, 1986) berpendapat bahwa agresivitas seseorang merupakan perilaku yang dipelajari dari social learning process. Adanya modelling dan reinforcement atas perilaku agresif ini memungkinkan inidividu mempelajari bahwa perilaku itu baik adanya. Dengan melihat contoh ayahnya yang bertindak kasar terhadap ibunya, mungkin saja seorang anak akan menirukan perilaku ayahnya tersebut (modelling). Atau mungkin karena penguatan yang diberikan oleh lingkungan sosialnya terhadap perilaku agresif tertentu memungkinkan sang anak menirukan perilaku tersebut. Selain itu, adanya peran harapan dan kompetensi dalam perilaku agresif ini jelas adanya. Seseorang yang berharap perilaku agresif yang akan dimunculkan akan menghasilkan implikasi psositif akan lebih mungkin melakukan tindakan tersebut. Berkaitan dengan kompetensi atau kemampuan individu dalam mengelola dan mengontrol sifat agresif dalam dirinya juga nampak bahwa individu yang kurang mampu  dalam mengelola dan mengontrol sifat agresif dalam dirinya memiliki prevalensi yang cukup besar dalam memunculkan perilaku agresif dalam overt behavior.
Para teoretikus sosio-kognitif juga memfokuskan pada cara-cara manusia dalam mengintepretasikan situasi konfrontatif dan konflik (Berkowitz, 1994). Ketika seseorang memandang motif orang lain kepada dirinya penuh dengan kenegativan, maka perilaku agresif ini cenderung untuk muncul. Asumsi orang serupa ini yakin bahwa orang tersebut bermaksud menyakiti, melukai, atau sejenisnya, dimana kebenarannya berlainan adanya. Menurut pandangan ini, sifat agresivitas dan desdruktif tidak dapat dikatarsis melalui beberapa perilaku yang dapat diterima secara sosial misalnya olahraga seperti pandangan klasikal Freudian, menurut mereka ini malahan memberi mereka suatu reinforcement pada sifat agresivitas dan desdruktifnya. Mereka juga mengakui adanya peran modelling dan tentunya reinforcement pada perilaku agresif tersebut. Disini mereka menjelaskan peran orangtua dalam menjelaskan kepada anak bahwa kekerasan yang ditayangkan pada media hanyalah sebuah sensasi belaka adanya, karena pada kenyataannya manusia sebagai individu menangani situasi-situasi konflik dengan cara damai.
5)      Pandangan Sosio-Kultural.
Dalam pandangan sosio-kultural dijelaskan bahwa perilaku agresif berakar dari penyebab sosial yang menyatu secara kompleks mencakup kemiskinan, kesempatan, keretakan keluarga, dan pemaparan modelling dari pihak tertentu termasuk orang tua dalam mencontohkan perilaku agresif. Anak yang dibesarkan dalam status sosial yang miskin memungkinkan mereka mengalami tekanan hidup yang lebih dari lingkungannya, hal ini memungkinkan pemunculan perilaku agresif itu sendiri. Ini sejalan dengan hipotesis frustrasi-agresi yang mengatakan bahwa agresivitas muncul karena terjadinya frustrasi pada individu tersebut. Rasa frustrasi ini disebabkan karena adanya tekanan-tekanan sosial pada mereka. Disposisi budaya seperti pada budaya barat (Amerika, misalnya) yang menunjukkan ciri individualitas dan mungkin memberikan tekanan pada peran maskulin laki-laki dalam hal ini menunjukkan ciri kelaki-lakiannya secara agresif juga mendukung kecenderungan munculnya perilaku agresif individu. Nilai-nilai budaya dan metode pengasuhan yang keras dapat mengembangkan sifat kekerasan dan agresif pada anak. Pembunuhan lebih sering terjadi pada kelompok ras dan etnik minoritas dibandingkan etnik yang mayoritas (Council Of Economic Advisors, 1998). Penyebabnya mungkin karena ras dan etnik minoritas merasa dirrugikan oleh budaya mayor yang ada. Selain itu, juga mungkin peran penggunaan obat tertentu acapkali terkait dengan kriminalitas di jalanan, terutama di kalangan masyarakat miskin.
Penggunaan alkanol memungkinkan terdistorsinya pikiran dan proses neuron tertentu dalam mengatur perilaku sehingga secara tak sadar perilaku agresif dimunculkannya. Efek alkanol dalam merusak kemampuan pengamibilan keputusan pada diri inidividu telah jelas berpengaruh. Alkanol juga memungkinkan menimbulkan efek ketenangan dan mendistorsi kemampuan empati sehingga individu berkurang kepakaannya terhadap rangsangan stimulus eksternal dan petunjuk yang pada dasarnya membangkitkan kecemasan yang terkait dengan kemungkinan hukuman diterima apabila perilaku agresif dimunculkan terdistorsi (dalam pandangan Freud, superego mengalami distorsi fungsi).
6)      Pandangan Eklektistif Agresivitas.
Menggabungkan semua pandangan mengenai kekerasan dan agresivitas merupakan alternatif bijak dalam menjelaskan perilaku agresif itu sendiri. Dalam pandangan ini, agresif disebabkan oleh multifaktoral disposisi. Individu mungkin mewarisi insitingsecara genetis dari parental atau orangtuanya, tetapi kita juga mempertimbangkan peran pembelajaran dan peran budaya dalam hal ini.  Individu belajar dari teman sebaya, televisi, internet, film, tokoh panutan modelling, dan bagaimana peran kognitif individu dalam mempertimbangkan perilakunya, serta bagaimana peran harapan, kompetensi, copping stress, penyaluran agresivitas itu sendiri, faktor fisiologis ,serta faktor neurobiologis, dan lainnya mungkin berperan penting dalam perwujudan perilaku agresif individu tersebut. Beberapa terapi yang disarankan dalam hal ini yaitu :
Pelatihan Empati, yang menolong individu mengidentifikasikan perasaan-perasaan mereka dan menjadi lebih peka terhadap perasaan orang lain.
Pelatihan Pengelolaan Rasa Amarah, dimana individu diajarkan teknik penguasaan keterampilan mengendalikan amarah.
Pelatihan Pengendalian Impuls, dimana individu diajarkan keterampilan menyelesaikan masalah dalam mengelola stiuasi-situasi bermasalah.
Beberapa jenis kekerasan antara lainnya sebagai berikut :
1)      Kekerasan Domestik.
Kekerasan domestik meliputi kekerasan pada rumah tangga atau yangs sering disebut KDRT. Selain resiko fisik yang diterima, korban kekerasan domestik juga rentan terhadap gangguan psikologis lainnya misalnya depresi, self-esteem yang rendah, PTSD (Posttraumatic Stress Disorder), gangguan emosi, gangguan perilaku, kesulitan dalam behubungan sosial secara efektif yang sehat, kekurangan kapasitas empati, kegagalan dalam mengembangkan suara hati dan kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain, keinginan untuk bunuh diri, gangguan mood, perilaku yang tidak matang misalnya mengisapi jempolnya, kesulitan untuk mengeksplorasi dunia sosialnya, dan bahkan bertindak agresif pada individu yang lebih rentan. Seorang anak yang menyaksikan perilaku agresif dalam keluarganya, meskipun kekerasan itu nonfisik sifatnya misalnya membanting perabotan di rumah, anak tersebut memilikikecenderungan untuk mengalami gangguan emosiona, depresi, dan perilaku anak tersebut (Jouriles, dkk, 1996).    Sebagian para ahli mengatakan bahwa perempuan yang mengalami kekerasan domestik akan lebih baik dipahami bila dilihat dari survivor trauma daripada masokisme (Strube, 1988). Seperti yang diungkapkan Leonore Walker (1979) dalam istilahnya yaitu sindrom perempuan yang mengalami kekerasan (battered woman syndrome).  Sindrom ini mencakup perasaan tidak tertolong dan rusaknya kemampuan penguasaan yang membuatnya sulit untuk meninggalkan pelaku kekerasan dan menjalani hidup baru lagi sendirian. Alasan ekonomi mungkin bisa menjadi salah satu penyebabnya juga. Artinya perempuan yang berani meninggalkan rumah, adalah mereka yang berani meninggalkan ketakutannya. Beberapa faktor psikologis yang mempengaruhi efektivitas kemampuan coping perempuan (Follingstad, Neckerman, & Vormbrock, 1988) yaitu :
Menghancurkan anggapan subjektif perempuan mengenai ketidakrentanannya yang membantu mempertahankan rasa aman secara personal dalam sebuah keluarga.
Menurunkan kemampuan dalam menyelesaikan masalah dan kemampuan menimbang solusi-solusi alternatif dari masalahnya, yang diakibatkan oleh kekerasan tersebut.
Kecenderungan mengalami PTSD yang pada implikasinya menyebabkan makin buruknya kemampuan coping masalah.
Konversi pikiran perempuan dalam memandang pelaku kekerasan terhadap diri mereka secara positif, penuh empati, dan pada saat yang sama mengembangkan asumsi negatif pada individu yang mencoba berperan sebagai penolong.
Menemukan makna dari kekerasan. Hal ini diungkapkan oleh Viktor Frankl (1959) bahwa perempuan yang mengalami kekerasan domestik akan lebih berusaha menemukan makna dari peristiwa tersebut, merasionalisasinya, dan terkadang membenarkannya.
Belajar akan ketidakberdayaan mereka. Hal ini dapat menurunkan motivasinya dalam problem solving masalah, dan dapat membuat pasif individu sehingga mereka enggan mencari bantuan untuk menyelesaikan masalahnya (Walker, 1979; Wilson, dkk, 1992).
Mengalami kesulitan dalam mengelola emosi-emosi terutama yang bersifat menmberatkan dirinya, sehingga mereka susah dalam mengontrol kemarahannya, depresi, menimbulkan perasaan suicide, dan cenderung menyalahkan diri mereka sendiri.
Faktor budaya yang menempatkan peran perempuan untuk selalu mengorbankan diri juga mendorong kesemua hal di atas terjadi riil. Lalu bagaimana penanganan bagi korban dan pelaku kekerasan domestik ?. Terapi pasangan dapat dilakukan sebagai salah satu tindakan penanganannya. Hal ini berguna bagi pasangan atau keluarga dengan sejarah kekerasan domestik (O’Leary, 1995). Dalam terapi ini terapis membantu kedua dari pasangan untuk memahami kemarahan mereka sebagai ekspresi ketidakberdayaan, dan untuk memahami kesakitan emosional keduanya secara lebih empati dan baik. Selain itu, terapi ini juga mengajarkan keduanya dalam pegelolaan amarah, penyelesaian konflik yang efektif, dan beragam cara yang lebih produktif (Mones, & Panitz, 1994). Terapi kelompok juga dapat dilakukan. Terapi ini diaplikasikan guna memberikan penjelasan pada korban kekerasan terhadap siklus kekerasan, mengembangkan strategi penyelamatan diri, alternatif laijn dalam perkawinan, meningkatkan harga diri, dan mengurangi sikap self-blame mereka.
2)      Penganiayaan Terhadap anak.
Ada beberapa jenis jenis penganiayaan terhadap anak, yaitu :
Penganiayaan fisik, mencakup pencelakaan fisik anak.
Penelantaran fisik, mencakup pembiaran fisik tanpa perhatian orangtuanya.
Penganiayaan seksual.
Perlakuan salah secara emosional, termasuk kritik dan selalu menyalahkan sang anak seara berlebihan.
Dalam menjelaskan kekerasan fisik, ada banyak hal yang menyertainya antara lainnya yaitu faktor kognitif seperti terus menerus menyalahkan anak terhadap sebuah kelakuannya yang sewajarnya dalam batasan anak secara sosial. Orangtua seperti ini, cenderung melihat perilaku anak selalu disengaja meski itu tak disengaja. Anggapan orangtua bahwa penggunaan atau pemberian punishment fisik dapat mengatasi perilaku nakal anaknya, dan tentunya dianggap secara sosial hal itu diterima adanya. Disini terlihat peran budaya yang mengajarkan pembenaran dalam penggunaan hukuman fisik terhadap anak tanpa batasan yang jelas.
Beberapa faktor resiko dalam penganiayaan anak antara lainnya (Belsky, 1993; Pogge, 1992) :
Stress mencakup stress kerja, dan sebagainya.
Menyaksikan kekerasan dalam keluarga sendri, dan modelling.
Pernah mengalami kekerasan pada masa kecilnya.
Kurang baiknya kemampuan mengelola amarah, dan coping stress.
Penyalahgunaan alkanol, dan obat-obatan tertentu.
Aturan-aturan budaya yang kaku dalam pengasuhan anak.
Berikut ini adalah efek dari penganiayaan terhadap anak, antara lainnya :
Luka-Luka secara fisik.
Luka emosional yang biasanya berlangsung cukup lama.
Kesulitan dalam membina hubungan relasi yang sehat dan ketertarikan yang sehat dengan teman sebayanya.
Mengalami kekurangan kapasitas emosionalnya.
Gagal mengembangkan suara hati, dan kepedulian terhadap orang lain.
Menurunnya self-esteem, depresi, dan kinerja yang buruk.
Menimbulkan pikiran-pikiran dengan tema bunuh diri (suicide), dan lain sebagainya.
Penanganan dapat dilakukan dengan program pelatihan bagi orangtua yang bertujuan membantu orangua dalam menguasai stress dengan lebih baik, dan meningkatkan interaksi yang sehat dengan anak mereka (DeAngelis, 1995b). Terapi keluarga dalam hal ini juga penting adanya.
3)      Agresi Seksual.
Pemerkosaan tidak digolongkan kedalam gangguan mental, tetapi kebanyakan hal itu berasosiasi dengan simdrom klinis tertentu, misalnya sadisme seksual. Dua tipe pemerkosaan yaitu :
Pemerkosaan yang melibatkan paksaan terhadap korbannya.
Pemerkosaan berdasarkan batasan hukum, dimana korban dianggap belum atau tidak mampu memberikan persetujuan, atau oleh karena ketidakmampuan mental, meskipun korban tidak menolak tindakan yang diakukan pemerkosa.
Semua perempuan beresiko mengalami pemerkosaan, termasuk semua perempuan dari golongan usia, ras, dan tingkat ekonomi manapun. Meskipun demikian, perempuan muda lebih beresiko, terutama remaja. Lebih dari itu, bukan hanya perempuan saja, lelaki juga terkadang menjadi korban pemerkosaan meskipun prevalensinya kecil sekali. Pemerkosaan lebih terkait dengan impuls kekerasan dan isu kekuatan serta pengendalian, daripada pemuasan seksual. Pemerkosa biasanya memiliki perasaan canggung atau malu dan inadekuat dalam dirinya, ketidakmampuan menemukan pasangan, umumnya antisosial, kurang pertimbangan matang. Acapkali mereka pernah mengalami kekerasan seksual pada masa kanak-kanaknya. Dalam hal ini nampak peran faktor sosio-kultural, yaitu meliputi budaya yang kurang kuat mengatur pemerkosaan dan individualitas, dan sosialisasi atas peran gender masing-masing beserta stereotipe dan asumsi yang diharapkan dalam sebuah kehidupan yang benar. Budaya yang mengajarkan peran laki-laki untuk cenderung agresif, dan maskulin membentuk sebuah anggapan stereotipe pada individu yang mendukung terjadinya pemerkosaan. Pemerkosaan pastilah membawa efek negatif pada korbannya. Berikut adalah beberapa efek dari pemerkosaan yang halusnya disebut pelecehan seksual :
Efek pada perempuan mungkin bisa kehilangan selera makan, sakit kepala, mudah tersinggung, cepat marah, ketidakteraturan menstruasi, ketidakrealitisan perilaku dan asumsi.
Bisa menyebabkan depresi, disfungsi seksual misalnya susah mengalami rangsangan seksual dan orgasme, mengalami ingatan yang mengganggu mengenai pelaku pemerkosaan, dan dapat menyebabkan gangguan kecemasan mencakup PTSD, dan lain sebagainya.
Efek pada anak-anak mungkin saja sama dalam beberapa halnya, ditambah masalah psikologis lainnya seperti self-esteem yang buruk, perilaku seksual yang prematur, mengisap jempol, takut gelap, masalah dalam relasi sosial, gangguan kepribadian ambang (Murray, 1993; Weaver, & Clum, 1995), dan ketidakpercayaan terhadap pelaku pemerkosaan apalagi jika pelakunya adalah ayah atau keluarga dekatnya sendiri. Hal ini menyebabkan individu mengalami distorsi pada rasa ketidakpercayaan terhadap mereka yang dahulunya dipercaya mereka, sehingga hal ini terbawa hingga dewasa.
Penanganan terhadap kasus pemerkosaan, dilakukan dalam dua tahapan yaitu :
Mendampingi korban dalam mengatasi situasi setelah pemerkosaan.
Membantu dalam penyesuaian diri korban untuk jangka panjang, dan membantu mengembangkan strategi untuk mengatasi trauma psikis.
Penganiayaan seksual pada anak biasanya jarang melibatkan kekerasan fisik, tetapi lebih kearah penggunaan manipulasi, tipuan, ancaman kekerasan, dan sejenisnya untuk mendapatkan kepatuhan anak. Beberapa terapi dapat diajukan dalam proses penanganannya antara lain dengan terapi seks, dalam hal ini anak dibantu untuk mengatasi disfungsi seksual dan ketakutannya pada masa dewasanya nanti. Terapi kelompok dapat dilakukan untuk membantu menghadapi masalah perasaan dalam lingkungan suportif dengan orang lain yang mengalami trauma yang serupa. Pendekatan multikomponental adalah salah satu cara alternatif yang baik, dimana terapi difokuskan pada penyediaan dukungan bagi anak, membahas ketidakberdayaan dan pengkhianatan, dan membantu anak memahami bahwa ia bukanlah pihak yang harus disalahkan. Lalu bagaimana menagani pelaku pemerkosaan dan pelecehan seksual ?. Dalam hal ini dapat dilakukan juga terapi kelompok dengan teknik terapi kognitif-behavioral, serta pelatihan empati dalam meningkatkan kepekaan sosial pelaku terhadap korban. Penggunaan obat berbasis bologis juga dapat dilakukan, yaitu pemberian obat antiandrogen yang bisa menurunkan kadar testosteron. Hal ini diibaratkan karena kebanyakan kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual melibatkan tingginya tingkat testosteron dalam tubuh pelakunya. Anti androgen ini dapat membantu ketika digabungkan penggunaannya dengan konseling psikologis (Leary, 1998).

1 komentar: