BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Kota gresik yang
disebut dengan kota wali di karenakan ada 2
makam wali yang berada di sana yaitu sunan Gird
an Syekh Maulana Malik Ibrahim, kota itu juga
disebut dengan kota industri dikarenakan di sana adalah kota
sibuk yang terdapat banyak macam pabrik yang berbaris. Selain dua sebutan itu
gresik juga dikenal sebagai kota
warung kopi dikarenakan hamper di setiap jalan dengan jarak yang tidak terlalu
jauh bias ditemui banyak pedagang ataupun warung yang menjual kopi.
Dengan banyaknya warung kopi tidak luput juga di
tunjang oleh kebiasaan warga sekitar yang menjadikan warung kopi sebagai sumber
informasi dan mereka pun betah untuk berlama-lama di warung kopi dari yang
sekedar untuk menikmati kopi, berjualan, rapat kecil-kecilan ataupun pembahasan
tentang masalah yang ada di negeri ini.
Seiring dengan perkembangan zaman yang ada warung
kopi di Gresik tidak hanya sekedar berjualan makanan dan minuman, tetapi
ditunjang juga dengan fasilitas menarik, dari yang berlangganan tv kabel,
menyediakan wifi untuk pelanggan, di lengkapi dengan toilet dan membuat
dekorasi warung yang menarik serta membuat warung kopi senyaman mungkin untuk
dikunjungi.
Namun sekitar tahun 2005 entah siapa yang memulai
ataupun kebutuhan pasar yang diharapkan oleh konsumen, warung kopi dengan gaya warung kopi remang-remang mulai bermuculan di wilayah
sekitar kota
gresik. Dan menjamurnya warung tersebut tidak bisa di bendung oleh PEMKAB yang
ada, malah di hampir setiap titik kota
gresik banyak bermunculan warung seperti itu yang juga bisa disebut “WARKOP
PANGKU”
Tahun demi tahu dalam perkembangannya warkop pangku
pun semakin modern dengan menyediakan wanita-wanita yang berpakaian ketat dan
terkadang pula ada juga yang memakai pakaian minim, selain hal itu mereka juga
menfasilitasi warkop pangku tersebut dengan fasilitas TV beserta audio.
Di dalam warkop pangku tersebut pengunjung bisa
berkaraoke ria serta menikmati kopi dan di temani oleh penjaga warkop tersebut
yang selalu wanita-wanita sexy yang berpakaian ketat.
Dari fenomena yang ada maka peneliti ingin melaksanakan penelitian
berjudul ”Persepsi Warkop Pangku dengan Interaksionis Simbolik”.
- Rumusan Masalah
Berdasarkan fokus penelitian diatas maka dapat dirumuskan masalah yaitu:
Bagaimana bentuk persepsi warkop pangku
dengan interaksionis simbolik?
- Tujuan Penelitian
Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran tentang bentuk persepsi warkop
pangku dengan interaksionis simbolik
- Manfaat Penelitian
1.
ManfaatPraktis
Penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ilmu psikologi khususnya berhubungan dengan kajian psikologi sosial khususnya fenomena warkop pangku di tinjau melalui interaksionis simbolik.
Penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ilmu psikologi khususnya berhubungan dengan kajian psikologi sosial khususnya fenomena warkop pangku di tinjau melalui interaksionis simbolik.
2. Manfaat Teoritis
a.
Bagi pemilik warkop pangku, penelitian ini bisa
menjadi refrensi untuk melihat bentuk warkop pangku yang ada ditinjau dari
teori interaksionis simbolik
b.
Bagi pembaca secara umum, penelitian ini bisa
menjadi salah satu bentuk gambaran warkop pangku ditinjau dari teori
interaksionis simbolik
BAB II
LANDASAN TEORI
A.
Interaksionis Simbolik
Beberapa
orang ilmuwan punya andil utama sebagai perintis interaksionisme simbolik,
diantaranya James Mark Baldwin, William James, Charles H. Cooley, John Dewey,
William I.Thomas, dan George Herbert Mead. Akan tetapi Mead-lah yang paling
populer sebagai perintis dasar teori tersebut. Mead mengembangkan teori
interaksionisme simbolik pada tahun 1920-an dan 1930-an ketika ia menjadi
professor filsafat di Universitas Chicago.
Namun gagasan-gagasannya mengenai interaksionisme simbolik berkembang pesat
setelah para mahasiswanya menerbitkan catatan dan kuliah-kuliahnya, terutama
melalui buku yang menjadi rujukan utama teori interaksi simbolik, yakni : Mind,
Self , and Society (1934) yang diterbitkan tak lama setelah Mead
meninggal dunia. Penyebaran dan pengembangan teori Mead juga berlangsung
melalui interpretasi dan penjabaran lebih lanjut yang dilakukan para
mahasiswanya, terutama Herbert Blumer. Justru Blumer-lah yang menciptakan
istilah “interaksi simbolik” pada tahun (1937) dan mempopulerkannya di kalangan
komunitas akademis (Mulyana, 2001 : 68)
Interaksi
simbolik merupakan suatu aktivitas yang merupakan cirri khas manusia, yakni
komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Blumer menyatukan
gagasan-gagasan tentang interaksi simbolik lewat tulisannya, dan juga diperkaya
dengan gagasan-gagasan dari John Dewey, William I. Thomas, dan Charles H.
Cooley (Mulyana, 2001 : 68).
Perspektif
interaksi simbolik sebenarnya berada di bawah perspektif yang lebih besar yang
sering disebut perspektif fenomenologis atau perspektif interpretif. Maurice
Natanson menggunakan istilah fenomenologis sebagai suatu istilah yang
merujuk pada semua pandangan ilmu sosial yang menganggap kesadaran manusia dan
makna subjektifnya sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial. Menurut
Natanson, pandangan fenomenologis atas realitas sosial menganggap dunia
intersubjekif terbentuk dalam aktivitas kesadaran yang salah satu hasilnya
adalah ilmu alam. Ia mengakui bahwa George Herbet Mead, William I.Thomas, dan
Charles H. Cooley, selain mazhaberopa yang dipengaruhi Max Weber adalah
representasi perspektif fenomenologis ini. Bogdan dan Taylor mengemukakan bahwa dua pendekatan
utama dalam tradisi fenomenologis adalah interaksi simbolik dan etnometodologi
(Mulyana, 2001:59).
Selama
awal perkembangannya, teori interaksi simbolik seolah-olah tetap tersembunyi di
belakang dominasi teori fenomenologisme dari Talcott Parsons. Namun kemunduran
fungsionalisme tahun 1950-an dan 1960-an mengakibatkan interaksionisme simbolik
muncul kembali ke [ermukaan dan berkembang pesat hingga saat ini. Selama tahun
1960-an tokoh-tokoh interaksionisme simbolik sperti Howard S.Becker dan Erving
Goffman menghasilkan kajian-kajian interpretif yang menarik dan menawarkan
pandangan alternatif yang sangat memilkat mengenai sosialisasi dan hubungan
antara individu dan masyarakat (Mulyana, 2001:59).
Menurut
Meltzer, sementara interaksionisme simbolik dianggap relative homogen,
sebenarnya perspektif ini terdiri dari beberapa mahzab berdasarkan akar
historis dan intelektual mereka yang berbeda. Aliran-aliran interaksionisme simbolik tersebut adalah mahzab Chicago,
Mahzab Iowa,
Pendekatan Dramaturgis, dan Etnometodologi. Mazhab Chicago dan Dramaturgis
tampaknya memberikan pemahaman lebih lengkap mengenai realitas yang dikaji.
Kedua pendekatan itu tidak hanya menganalisis kehadiran manusia di antara
sesamanya, tetapi juga motif, sikap, nilai yang mereka anut dalam privasi
mereka (Mulyana, 2001:59-60).
Sebagian pakar berpendapat, teori interaksionisme
simbolik, khususnya dari George Herbert Mead, seperti teori etnometodologi dari
Harold Garfinkel yang juga berpengaruh di Amerika, serta teori fenomenologi
dari Alfred Schutz yang berpengaruh di eropa, sebenarnya berada di bawah teori
tindakan sosial yang dikemukakan filsuf dan sosiolog Jerman, Max Weber
(Mulyana, 2001:59-60).
Sebagaimana diakui Paul Rock, interaksionisme simbolik
mewarisi tradisi dan posisi intelektual yang berkembang di eropa abad ke-19,
meskipun interaksionisme simbolik tidak punya hak waris atasnya atau dianggap
sebagai tadisi ilmiah tersendiri. Dengan kata
lain, George Herbert Maead tidaklah secara harfiah mengembangkan teori Weber
atau bahwa teori Mead diilhami oleh teori Weber. Hanya memang ada kemiripan
dalam pemikiran kedua tokoh tersebut mengenai tindakan manusia. Pemikiran Mead
sendiri diilhami beberapa pandangan filsafat, khususnya pragmatisme dan behaviorisme.
Ada kemiripan
antara pandangan Mead dengan pandangan Schutz. Sejumlah interaksionis memang
menekankan dimensi fenomenologis dengan mensintesiskan karya mereka dengan
gagasan Alfred Schutz dan para pengikutnya (Mulyana, 2001:59-60).
Weber mendefinisikan tindakan sosial sebagai semua perilaku
manusia ketika dan sejauh individu memberikan suatu makna subjektif terhadap
perilaku tersebut. Tindakan disini bisa terbuka atau tersembunyi, bisa
merupakan intervensi positif dalam suatu situasi atau sengaja berdiam diri
sebagai tanda setuju dalam situasi tersebut. Menurut Weber, tindakan bermakna
sosial sejauh berdasarkan makna subjektifnya yang diberikan individu atau
individu-individu, tindakan itu mempertimbangkan perilaku orang lain dan
karenanya diorientasikan dalam penampilannya (Mulyana, 2001:61).
Sedangkan
interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan
sosial dinamis manusia. Bagi perspektif ini, individu bersifat aktif,
reflektif, dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit
diramalkan. Paham ini menolak gagasan bahwa individu adalah organisme yang
pasif yang perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan atau struktur yang ada
diluar dirinya. Oleh karena individu terus berubah maka masyarakat pun berubah
melalui interaksi. Jadi interaksi lah yang dianggap sebagai variable penting
yang menentukan perilaku manusia bukan struktur masyarakat.
Struktur
itu sendiri tercipta dan berubah karena interaksi manusia, yakni ketika
individu-individu berpikir dan bertindak secara stabil terhadap seperangkat
objek yang sama. Senada dengan asumsi di atas, dalam fenomenologi Schutz,
pemahaman atas tindakan, ucapan, dan interaksi merupakan prasyarat bagi
eksistensi sosial siapa pun. Dalam pandangan Schutz, kategori pengetahuan
pertama bersifat pribadi dan unik bagi setiap individu dalam interaksi tatap
muka dengan orang lain (Mulyana, 2001:61-62).
Interaksionisme simbolik Mazhab Iowa menggunakan metode
saintifik (positivistik) dalam kajian-kajiannya, yakni untuk menemukan
hukum-hukum universal mengenai perilaku sosial yang dapat diuju secara empiris,
sementara Mazhab Chicaga menggunakan pendekatan humanistik. Dan Mazhab yang populer digunakan adalah Mazhab Chicago
(Mulyana, 2001:69).
Perspektif
interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang
subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai
proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan
mempertimbangkan ekspektasi orag lain yang menjadi mitra interaksi mereka.
Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek dan bahkan diri
mereka sendirilah yang menentukan perilaku mereka. Perilaku mereka tidak dapat
digolongkan sebagai kebutuhan, dorongan impuls, tuntutan budaya atau tuntutan
peran. Manusia bertindak hanyalah berdasarkan definisi atau penafsiran mereka
atas objek-objek di sekeliling mereka. Tidak mengherankan bila frase-frase
“definisi situasi” , “realitas terletak pada mata yang melihat” dan “bila
manusia mendefinisikan situasi sebagai riil, situasi tersebut riil dalam
konsekuensinya” sering dihubungkan dengan interaksionisme simbolik (Mulyana,
2001:70).
Mead mengembangkan
teori interaksionisme simbolik pada tahun 1920-an ketika beliau menjadi
profesor filsafat di Universitas Chicago.
Namun gagasan-gagasannya mengenai interaksionisme simbolik berkembang pesat
setelah para mahasiswanya menerbitkan catatan dan kuliah-kuliahnya, terutama
melalui buku yang menjadi rujukan utama teori interaksionisme simbolik, yakni mind,
self and society (Mulyana, 2001: 68).
Karya
Mead yang paling terkenal ini menggarisbawahi tiga konsep kritis yang
dibutuhkan dalam menyusun sebuah diskusi tentang teori interaksionisme
simbolik. Tiga konsep ini saling mempengaruhi satu sama lain dalam term
interaksionisme simbolik. Dari itu, pikiran manusia (mind) dan interaksi
sosial (diri/self dengan yang lain) digunakan untuk menginterpretasikan
dan memediasi masyarakat (society) di mana kita hidup. Makna berasal
dari interaksi dan tidak dari cara yang lain. Pada saat yang sama “pikiran” dan
“diri” timbul dalam konteks sosial masyarakat. Pengaruh timbal balik antara
masyarakat, pengalaman individu dan interaksi menjadi bahan bagi penelahaan
dalam tradisi interaksionisme simbolik (Elvinaro, 2007: 136)
Perspektif
interaksi simbolik sebenarnya berada di bawah payung perspektif yang lebih
besar lagi, yakni perspektif fenomenologis atau perspektif interpretif. Secara
konseptual, fenomenologi merupakan studi tentang pengetahuan yang berasal dari
kesadaran atau cara kita sampai pada pemahaman tentang objek-objek atau
kejadian-kejadian yang secara sadar kita alami. Fenomenologi melihat
objek-objek dan peristiwa-peristiwa dari perspektif seseorang sebagai perceiver.
Sebuah fenomena adalah penampakan sebuah objek, peristiwa atau kondisi dalam
persepsi individu (Rahardjo, 2005: 44).
Interaksionisme
simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis
manusia. Bagi perspektif ini, individu itu bukanlah sesorang yang bersifat
pasif, yang keseluruhan perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan atau
struktur-struktur lain yang ada di luar dirinya, melainkan bersifat aktif,
reflektif dan kreatif, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan.
Oleh karena individu akan terus berubah maka masyarakat pun akan berubah melalui interaksi itu. Struktur itu tercipta dan
berubah karena interaksi manusia, yakni ketika individu-individu berpikir dan bertindak
secara stabil terhadap seperangkat objek yang sama (Mulyana, 2001: 59). Jadi,
pada intinya, bukan struktur masyarakat melainkan interaksi lah yang dianggap
sebagai variabel penting dalam menentukan perilaku manusia. Melalui percakapan
dengan orang lain, kita lebih dapat memahami diri kita sendiri dan juga
pengertian yang lebih baik akan pesan-pesan yang kita dan orang lain kirim dan
terima (West, 2008: 93)
Interaksi
simbolik didasarkan pada ide-ide tentang individu dan interaksinya dengan
masyarakat. Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan
ciri manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna.
Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut
pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat
sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka
dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi
mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek dan
bahkan diri mereka sendiri yang menentukan perilaku manusia. Sebagaimana
ditegaskan Blumer, dalam pandangan interaksi simbolik, proses sosial dalam
kehidupan kelompok yang menciptakan dan menegakkan aturan-aturan, bukan
sebaliknya. Dalam konteks ini, makna dikonstruksikan dalam proses interaksi dan
proses tersebut bukanlah suatu medium netral yang memungkinkan
kekuatan-kekuatan sosial memainkan perannya, melainkan justru merupakan
substansi sebenarnya dari organisasi sosial dan kekuatan sosial (Mulyana, 2001:
68-70).
Menurut
teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi
manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Secara ringkas, interaksionisme
simbolik didasarkan pada premis-premis berikut: pertama, individu merespon
suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik dan
sosial berdasarkan makna yang dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut
bagi mereka. Kedua, makna adalah produk interaksi sosial, karena itu
makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan
bahasa. Ketiga, makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari
waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi
sosial.
Teori
ini berpandangan bahwa kenyataan sosial didasarkan kepada definisi dan
penilaian subjektif individu. Struktur sosial merupakan definisi bersama yang
dimiliki individu yang berhubungan dengan bentuk-bentuk yang cocok, yang
menghubungkannya satu sama lain. Tindakan-tindakan individu dan juga pola interaksinya
dibimbing oleh definisi bersama yang sedemikian itu dan dikonstruksikan melalui
proses interaksi.
Mead
adalah pemikir yang sangat penting dalam sejarah interaksionisme simbolik.
Interaksi simbolik didasarkan pada ide-ide mengenai diri dan hubungannya dengan
masyarakat. Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes (1993) mengatakan bahwa ada
tiga tema besar yang mendasari asumsi dalam teori interaksi simbolik (West
& Turner, 2008 : 98-104) :
1.
Pentingnya
makna bagi perilaku manusia
a.
Manusia
bertindak terhadap orang lain berdasarkan makna yang diberikan orang lain
terhadap mereka.
b.
Makan
yang diciptakan dalam interaksi antar manusia.
2.
Pentingnya
konsep mengenai diri
a.
Individu-individu
mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain.
b.
Konsep
diri memberikan sebuah motif penting untuk berperilaku.
3.
Hubungan
antara individu dan masyarakat
a.
Orang
dan kelompok- kelompk dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial.
b.
Struktur
sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.
Karya
tunggal Mead yang amat penting dalam hal ini terdapat dalam bukunya yang
berjudul Mind, Self dan Society. Mead megambil tiga konsep kritis yang
diperlukan dan saling mempengaruhi satu sama lain untuk menyusun sebuah teori
interaksionisme simbolik. Dengan demikian, pikiran manusia (mind), dan
interaksi sosial (diri/self) digunakan untuk menginterpretasikan dan
memediasi masyarakat (society) (Elvinaro, 2007:136).
1. Pikiran (Mind)
Pikiran,
yang didefinisikan Mead sebagai proses percakapan seseorang dengan dirinya
sendiri, tidak ditemukan di dalam diri individu, pikiran adalah fenomena
sosial. Pikiran muncul dan berkembang dalam proses sosial dan merupakan bagian
integral dari proses sosial. Proses sosial mendahului pikiran, proses sosial bukanlah
produk dari pikiran. Jadi pikiran juga didefinisikan secara fungsional
ketimbang secara substantif. Karakteristik istimewa dari pikiran adalah
kemampuan individu untuk memunculkan dalam dirinya sendiri tidak hanya satu
respon saja, tetapi juga respon komunitas secara keseluruhan. Itulah yang kita
namakan pikiran.
Melakukan sesuatu berarti memberi respon terorganisir
tertentu, dan bila seseorang mempunyai respon itu dalam dirinya, ia mempunyai
apa yang kita sebut pikiran. Dengan demikian pikiran dapat dibedakan dari
konsep logis lain seperti konsep ingatan dalam karya Mead melalui kemampuannya
menanggapi komunitas secara menyeluruh dan mengembangkan tanggapan
terorganisir. Mead juga melihat pikiran secara pragmatis. Yakni, pikiran
melibatkan proses berpikir yang mengarah pada penyelesaian masalah (Ritzer
& Goodman, 2004:280).
2. Diri (Self)
Banyak
pemikiran Mead pada umumnya, dan khususnya tentang pikiran, melibatkan
gagasannya mengenai konsep diri. Pada dasarnya diri adalah kemampuan
untuk menerima diri sendiri sebagai sebuah objek. Diri adalah kemampuan khusus
untuk menjadi subjek maupun objek. Diri mensyaratkan proses sosial yakni
komunikasi antar manusia. Diri muncul dan berkembang melalui aktivitas dan
antara hubungan sosial. Menurut Mead adalah mustahil membayangkan diri yang
muncul dalam ketiadaan pengalaman sosial. Tetapi, segera setelah diri
berkembang, ada kemungkinan baginya untuk terus ada tanpa kontak sosial.
Diri
berhubungan secara dialektis dengan pikiran. Artinya, di satu pihak Mead menyatakan
bahwa tubuh bukanlah diri dan baru akan menjadi diri bila pikiran telah
berkembang. Di lain pihak, diri dan refleksitas adalah penting bagi
perkembangan pikiran. Memang mustahil untuk memisahkan pikiran dan diri karena
diri adalah proses mental. Tetapi, meskipun kita membayangkannya sebagai proses
mental, diri adalah sebuah proses sosial. Dalam pembahasan mengenai diri, Mead menolak gagasan yang meletakkannya
dalam kesadaran dan sebaliknya meletakkannya dalam pengalaman sosial dan proses
sosial. Dengan cara ini Mead mencoba memberikan arti behavioristis
tentang diri. Diri adalah di mana orang memberikan tanggapan terhadap apa
yang ia tujukan kepada orang
lain dan dimana
tanggapannya sendiri menjadi
bagian dari tindakannya, di mana ia tidak hanya mendengarkan dirinya
sendiri, tetapi juga merespon dirinya sendiri,
berbicara dan menjawab dirinya sendiri sebagaimana orang lain menjawab kepada dirinya, sehingga kita mempunyai
perilaku di mana individu menjadi objek untuk
dirinya sendiri. Karena itu diri
adalah aspek lain dari proses sosial menyeluruh di mana individu adalah
bagiannya.
Mekanisme umum untuk mengembangkan diri adalah
refleksivitas atau kemampuan menempatkan diri secara tak sadar ke dalam tempat
orang lain dan bertindak seperti mereka bertindak. Akibatnya, orang mampu
memeriksa diri sendiri sebagaimana orang lain memeriksa diri mereka
sendiri. Seperti dikatakan Mead :
“Dengan
cara merefleksikan, dengan mengembalikan pengalaman individu pada dirinya
sendiri keseluruhan proses sosial menghasilkan pengalaman individu yang
terlibat di dalamnya; dengan cara demikian, individu bisa menerima sikap orang
lain terhadap dirinya, individu secara sadar mampu menyesuaikan dirinya sendiri
terhadap proses sosial dan mampu mengubah proses yang dihasilkan dalam tindakan
sosial tertentu dilihat dari sudut penyesuaian dirinya terhadap tindakan sosial
itu”
Diri juga memungkinkan orang
berperan dalam percakapan dengan orang lain. Artinya, seseorang menyadari apa
yang dikatakannya dan akibatnya mampu menyimak apa yang sedang dikatakan dan
menentukan apa yang akan dikatakan selanjutnya.
Untuk mempunyai diri, individu harus mampu mencapai
keadaan “di luar dirinya sendiri” sehingga mampu mengevaluasi diri sendiri,
mampu menjadi objek bagi dirinya sendiri. Untuk
berbuat demikian, individu pada dasarnya harus menempatkan dirinya sendiri
dalam bidang pengalaman yang sama dengan orang lain. Tiap orang adalah bagian
penting dari situasi yang dialami bersama dan tiap orang harus memperhatikan
diri sendiri agar mampu bertindak rasional dalam situasi tertentu. Dalam
bertindak rasional ini mereka mencoba memeriksa diri sendiri secara impersonal,
objektif, dan tanpa emosi.
Tetapi,
orang tidak dapat mengalami diri sendiri secara langsung. Mereka hanya dapat
melakukannya secara tak langsung melalui penempatan diri mereka sendiri dari
sudut pandang orang lain itu. Dari sudut pandang demikian orang memandang
dirinya sendiri dapat menjadi individu khusus atau menjadi kelompok sosial
sebagai satu kesatuan. Seperti dikatakan Mead, hanya dengan mengambil peran
orang lainlah kita mampu kembali ke diri kita sendiri (Ritzer & Goodman,
2004:280-282).
3. Masyarakat (Society)
Pada
tingkat paling umum, Mead menggunakan istilah masyarakat (society) yang
berarti proses sosial tanpa henti yang mendahului pikiran dan diri. Masyarakat
penting perannya dalam membentuk pikiran dan diri. Di tingkat lain, menurut
Mead, masyarakat mencerminkan sekumpulan tanggapan terorganisir yang diambil
alih oleh individu dalam bentuk “aku” (me). Menurut pengertian
individual ini masyarakat mempengaruhi mereka, memberi mereka kemampuan melalui
kritik diri, untuk mengendalikan diri mereka sendiri. Sumbangan terpenting Mead tentang masyarakat, terletak dalam
pemikirannya mengenai pikiran dan diri.
Pada
tingkat kemasyarakatan yang lebih khusus, Mead mempunyai sejumlah pemikiran
tentang pranata sosial (social institutions). Secara luas, Mead
mendefinisikan pranata sebagai “tanggapan bersama dalam komunitas” atau
“kebiasaan hidup komunitas”. Secara lebih khusus, ia mengatakan bahwa,
keseluruhan tindakan komunitas tertuju pada individu berdasarkan keadaan
tertentu menurut cara yang sama, berdasarkan keadaan itu pula, terdapat respon
yang sama dipihak komunitas. Proses ini disebut “pembentukan pranata”.
Pendidikan
adalah proses internalisasi kebiasaan bersama komunitas ke dalam diri aktor.
Pendidikan adalah proses yang esensial karena menurut pandangan Mead, aktor
tidak mempunyai diri dan belum menjadi anggota komunitas sesungguhnya sehingga
mereka tidak mampu menanggapi diri mereka sendiri seperti yang dilakukan
komunitas yang lebih luas. Untuk berbuat demikian, aktor harus
menginternalisasikan sikap bersama komunitas.
Namun,
Mead dengan hati-hati mengemukakan bahwa pranata tak selalu menghancurkan
individualitas atau melumpuhkan kreativitas. Mead mengakui adanya pranata
sosial yang “menindas, stereotip, ultrakonservatif” yakni, yang dengan
kekakuan, ketidaklenturan, dan ketidakprogesifannya menghancurkan atau
melenyapkan individualitas. Menurut Mead, pranata sosial seharusnya hanya
menetapkan apa yang sebaiknya dilakukan individu dalam pengertian yang sangat
luas dan umum saja, dan seharusnya menyediakan ruang yang cukup bagi
individualitas dan kreativitas. Di sini Mead menunjukkan konsep pranata sosial
yang sangat modern, baik sebagai pemaksa individu maupun sebagai yang memungkinkan mereka untuk menjadi individu yang kreatif
(Ritzer & Goodman, 2004:287-288).
B.
Warkop Pangku
Warkop pangku adalah
sebutan untuk warung kopi yang berbaris di sepanjang jalan pantura yang terindikasi
sebagai warung remang-remang yang memberikan kenyamanan terhadap para
pelanggannya dan ditunjang pula dengan berbagai fasilitas seperti audio visual
yang dapat di gunakan untuk berkaraoke ria para pengunjung untuk mendendangkan
lagu dangdut koplo pantura yang sangat khas.
Kopi pangku, ada yang juga menyebutnya seperti itu dikarenakan pada saat
warung kopi gaya baru yang lagi trend tersebut sekitar tahun 2006 itu biasanya
identik dengan penjaga wanita berbusana minim dan pengunjung bisa memangku pelayan
wanita tersebut.
Pelayan wanita pada warung kopi tersebut selain berbusana minim mereka
juga diharuskan oleh sang pemilik untuk bersolek se menor mungkin agar bisa
menarik pengunjung untuk sekedar singgah atau pun berlama-lama dan menjadi
customer yang loyal pada warung tersebut.
Konsumen di setiap warung tersebut selain bisa menikmati kopi dan
dilayani mengobrol dan bersebelahan dengan pelayan wanita tersebut, konsumen
bisa meraba tubuh pelayan wanita tersebut dan melakukan tindakan pelecehan
seksual yang lain.
Sementara dalam perkembangannya warkop pangku untuk saat ini mulai
sedikit dimodifikasi bentuk kegiatan didalamnya yang dulu para konsumen bebas
untuk berkontak fisik dengan para konsumen entah dalam apapun sekarang mulai
beralih fungsi yang hanya bisa sekedar menjadi teman ngobrol atau hanya
menemani konsumen untuk berdendang lagu dangdut.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Metode
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode
kualitatif didefinisikan sebagai pendalam sikap, perilaku dan pengalaman
melalui beberapa metode seperti wawancara atau pertemuan kelompok tertentu (focus
group). Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang datanya dikumpulkan
dalam bentuk kata kata atau gambar, dan tidak menekankan pada angka statistika,
sebagaimana yang diungkapkan oleh Muhadjir (1990) bahwa metodologi kualitatif
didasarkan pada upaya memberi penekanan pada segi memahami (verstehen) bukan
mengukur.
Metode
ini digunakan untuk mendapatkan data yang mendalam dan menekankan kedalaman
informasi. Beberapa ciri dari penelitian kualitatif menurut Hidayat (dalam
Dwijayanto, 2010) yaitu :
1.
Dilandasi oleh kekuatan narasi, kajian
dalam situasi alamiah, kontak langsung di lapangan.
2.
Cara berpikir induktif, perpektif
holistik, perspektif perkembangan dinamis.
3.
Orientasi pada kasus unik, pemerolehan
data : natural – empatis,
4.
Design fleksibel / luwes, sirkuler.
5.
Peneliti merupakan instrumen kunci.
Secara khusus dalam penelitian ini
menggunakan metode perspektif interaksionis
simbolik. Perspektif interaksi simbolik sebenarnya berada di bawah
perspektif yang lebih besar yang sering disebut perspektif fenomenologis atau
perspektif interpretif. Maurice Natanson menggunakan istilah fenomenologis
sebagai suatu istilah yang merujuk pada semua pandangan ilmu sosial yang
menganggap kesadaran manusia dan makna subjektifnya sebagai fokus untuk
memahami tindakan sosial. Menurut Natanson, pandangan fenomenologis atas
realitas sosial menganggap dunia intersubjekif terbentuk dalam aktivitas
kesadaran yang salah satu hasilnya adalah ilmu alam. Ia mengakui bahwa George
Herbet Mead, William I.Thomas, dan Charles H. Cooley, selain mazhaberopa yang
dipengaruhi Max Weber adalah representasi perspektif fenomenologis ini. Bogdan
dan Taylor
mengemukakan bahwa dua pendekatan utama dalam tradisi fenomenologis adalah
interaksi simbolik dan etnometodologi (Mulyana, 2001:59).
Selama
awal perkembangannya, teori interaksi simbolik seolah-olah tetap tersembunyi di
belakang dominasi teori fenomenologisme dari Talcott Parsons. Namun kemunduran
fungsionalisme tahun 1950-an dan 1960-an mengakibatkan interaksionisme simbolik
muncul kembali ke [ermukaan dan berkembang pesat hingga saat ini. Selama tahun
1960-an tokoh-tokoh interaksionisme simbolik sperti Howard S.Becker dan Erving
Goffman menghasilkan kajian-kajian interpretif yang menarik dan menawarkan
pandangan alternatif yang sangat memilkat mengenai sosialisasi dan hubungan
antara individu dan masyarakat (Mulyana, 2001:59).
Menurut
Meltzer, sementara interaksionisme simbolik dianggap relative homogen,
sebenarnya perspektif ini terdiri dari beberapa mahzab berdasarkan akar
historis dan intelektual mereka yang berbeda. Aliran-aliran interaksionisme simbolik tersebut adalah mahzab Chicago,
Mahzab Iowa,
Pendekatan Dramaturgis, dan Etnometodologi. Mazhab Chicago dan Dramaturgis
tampaknya memberikan pemahaman lebih lengkap mengenai realitas yang dikaji.
Kedua pendekatan itu tidak hanya menganalisis kehadiran manusia di antara
sesamanya, tetapi juga motif, sikap, nilai yang mereka anut dalam privasi
mereka (Mulyana, 2001:59-60).
Mead
mengembangkan teori interaksionisme simbolik pada tahun 1920-an ketika beliau
menjadi profesor filsafat di Universitas Chicago.
Namun gagasan-gagasannya mengenai interaksionisme simbolik berkembang pesat
setelah para mahasiswanya menerbitkan catatan dan kuliah-kuliahnya, terutama
melalui buku yang menjadi rujukan utama teori interaksionisme simbolik, yakni mind,
self and society (Mulyana, 2001: 68).
Karya
Mead yang paling terkenal ini menggarisbawahi tiga konsep kritis yang
dibutuhkan dalam menyusun sebuah diskusi tentang teori interaksionisme
simbolik. Tiga konsep ini saling mempengaruhi satu sama lain dalam term
interaksionisme simbolik. Dari itu, pikiran manusia (mind) dan interaksi
sosial (diri/self dengan yang lain) digunakan untuk menginterpretasikan
dan memediasi masyarakat (society) di mana kita hidup. Makna berasal
dari interaksi dan tidak dari cara yang lain. Pada saat yang sama “pikiran” dan
“diri” timbul dalam konteks sosial masyarakat. Pengaruh timbal balik antara
masyarakat, pengalaman individu dan interaksi menjadi bahan bagi penelahaan
dalam tradisi interaksionisme simbolik (Elvinaro, 2007: 136)
Alasan peneliti menggunakan metode
penelitian kualitatif dengan perspektif interaksionis ismbolik dikarenakan
peneliti ingin mengemukakan bentuk-bentuk warkop pangku melalui perspektif
interaksionis simbolik
B.
Rancangan
Penelitian
Peneliti
melakukan penelitian dengan menggunakan 1 narasumber sebagai sumber data utama.
Karakteristik
narasumber adalah pemilik warung
kopi pangku yang tersebar di gresik dan sudah menjalani bisnis ini selam 6
bulan lebih
Setelah
peneliti mendapatkan ijin dari narasumber, peneliti kemudian memulai dengan
cara mengobservasi perilaku subjek ketika menjalankan bisnis warkop pangku tersebut
.
C.
Lokasi
Penelitian
Lokasi
penelitian adalah di kota gresik yaitu cafe putri yang terletak di depan
telaga ngipik gresik.
D.
Sumber
Data
Sumber
data adalah sumber data primer yang didapatkan langsung dari Narasumber
E.
Pengumpulan
Data
Pengumpulan
data dilakukan melalui wawancara dan Observasi. Adapun yang menjadi definisi
dari wawancara adalah proses interaksi komunikasi antar duapihak, yang salah
satunya memiliki tujuan tertentu dan didalamnya terdapat aktivitas bertanya dan
menjawab pertanyaan (Steward & Cash Jr., 1999). Wawancara dapat pula
sebagai proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya
jawab, sambil bertatap muka penanya atau pewawancara dengan si penjawab atau
respoden dengan alat yang dinamakan interview guide (Moh. Nazir, 2005).Jenis
wawancara yang digunakan adalah wawancara semi terstruktur. Wawancara semi
terstruktur artinya peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara lebih
bebas dan leluasa, tanpa terikat oleh suatu susunan pertanyaan yang baku atau telah
dipersiapkan sebelumnya. Pada wawancara semi terstruktur, peneliti merancang
serangkaian pertanyaan yang disusun dalam suatu daftar wawancara, akan tetapi
daftar tersebut digunakan untuk menuntun dan bukan untuk mendikte wawancara
tersebut. Dengan demikian ada upaya untuk membangun hubungan dengan responden
dan pewawancara lebih bebas untuk meneliti wilayah-wilayah menarik yang muncul
(Smith, 2009).
Observasi sendiri memiliki arti proses mengamati dan merekam
perilaku secara sistematis dengan tujuan membuat instruksi, manajemen, dan
keputusan dalam pelayan anak (Cartwright & Cartwright, 1984). Yang termasuk
dalam perilaku adalah segala sesuatu yang dapat dilihat, didengar, dihitung,
atau diuku
F.
Analisis
Data
Dalam
penelitian ini, analisis data dilakukan dengan langkah-langkah yang dikemukakan
oleh Poerwandari (2007). Langkah-langkah tersebut yaitu:
1)
OrganisasiData
Peneliti mengorganisasikan data kualitatif dengan rapi, sistematis, dan selengkap mungkin.
Peneliti mengorganisasikan data kualitatif dengan rapi, sistematis, dan selengkap mungkin.
2)
Koding
dan analisis
Peneliti membubuhkan
kode-kode pada materi-materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat
mengorganisasi dan mensistemasi data secara detail sehingga data dapat
memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari. Selanjutnya, melakukan
pemadatan faktual dan menemukan tema-tema. Setelah itu, peneliti mencoba
memikirkan hubungan tema-tema tersebut sehingga tersusun kategori-kategori.
Kategorikategori tersebut disusun sehingga menampilkan hubungan antar kategori.
Terakhir adalah menarasikan kategori-kategori tersebut.
G.
Validitas
Data
Validitas
data didapatkan melalui proses triangulasi data. Proses triangulasi data
dilakukan melalui wawancara dengan orang terdekat subjek yaitu anak subjek.
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Persiapan
Penelitian
Peneliti
melakukan pra-penelitian sesuai menurut Bogdan (dalam Jacobs, 2010) terdapat 6
kegiatan persiapan penelitian ditambah etika penelitian yaitu :
a. Menyusun persiapan penelitian,
persiapan penelitian yang dilakukan meliputi
penulisan bab 1 hingga bab 3 yang mencakup latar belakang, landasan teori dan
metode penelitian kemudian juga mempersiapkan alat pengumpul data berupa
penuntun wawancara (interview guide) dan panduan observasi.
b. Pemilihan lokasi penelitian
Peneliti menentukan lokasi
penelitian adalah warung kopi pangku
di sekitar kota
gresik yang sudah menjalankan bisnis selama 6 bulan lebih.
c. Peneliti pun memilih dan memanfaatkan informan
Peneliti menggunakan
database yang dapat diakses oleh peneliti. Kemudian peneliti melakukan
pendekatan terhadap anak narasumber yang merupakan informan peneliti. Setelah
dirasa memenuhi criteria peneliti kemudian memutuskan memilih narasumber
tersebut.
d. Pengurusan perijinan
Peneliti tidak perlu
melakukan perijinan
e. Tahap penjajakan dan penilaian lapangan
Setelah menemukan narasumber,
peneliti kemudian mulai menentukan kapan waktu yang bisa dipergunakan untuk
melaksanakan penelitian.
f.
Persiapan perlengkapan penelitian
dilakukan dengan
menyediakan alat-alat yang dibutuhkan dalam proses pengambilan data seperti
alat tulis, buku catatan, kamera, dan juga perekam suara.
g. Mengetahui persoalan etika penelitian dengan memberitahukan maksud dan
tujuan penelitian secara terbuka kepada calon partisipan penelitian.
B.
Pelaksanaan
Penelitian
Pelaksanaan
penelitian dilakukan peneliti dalam beberapa tahap. Tahapan pertama yang
dilakukan peneliti adalah dengan melakukan pengamatan terhadap narasumber
ketika bertemu dengan anak narasumber di warung kopi pangku tempat berjualan. Tahapan berikutnya adalah
peneliti melakukan wawancara terhadap narasumber. Tahapan terakhir adalah
dengan melakukan triangulasi data, proses triangulasi yang peneliti lakukan
adalah dengan melakukan wawancara terhadap pemilik warung kopi pangku yang lain.
C. Hasil Penelitian
a.
Gambaran
Umum Partisipan Penelitian
Nama : PTR
TTL : Surabaya,
14 Juli 1984
Usia : 30 Tahun
Pendidikan Terakhir : SMA
Status : Menikah
Agama : Islam
Alamat : Kupang Surabaya
PTR adalah seorang wanita yang mempunyai
cafe atau warkop pangku yang berada di telaga ngipik gresik dan sudah menjalani
bisnis warung kopi pangku selama hampir 9 bulanan lebih dengan mempunyai 3
pelayan yang membantu bisnis tersebut
b.
Laporan
Observasi Selama Wawancara
Selama
wawancara berlangsung PTR
lebih cenderung cuek atas pertanyaan
yang di ajukan akan tetapi dia juga jawab pertanyaan singkat dan lebih
mementingkan untuk mengajak interaksi pengunjung walaupun hanya sekedar menyapa
dan mengajak untuk berkaraoke dangdut koplo dengan fasilitas yang di dukung
oleh warung tersebut.
c. Analisis Berdasarkan Masing-Masing Aspek
c.1. Pikiran (Mind)
Ketika
kemampuan individu untuk memunculkan dalam dirinya
sendiri tidak hanya satu respon saja, tetapi juga respon komunitas secara
keseluruhan.
Iya kebutuhan saya sehari-mas saya membuat warung
ini untuk bertahan hidup karena untuk menunjang kebutuhan sehari-hari yang
semakin hari semakin naik mas.
c.1.2. Berfikir Untuk Menyelesaikan Masalah
proses berpikir yang mengarah pada penyelesaian masalah, PTR beranggapan kalau
seandaikan ada usaha yang lebih menguntungkan daripada bisnis ini dia akan
berhenti.
Ya tentu, kalau seandainya ada usaha yang lebih menggiurkan
saya pasti sudah berpindah ke usaha tersebut.
c.2. Diri (self)
c.2.1. kemampuan untuk menerima diri sendiri sebagai sebuah objek.
Ptr cuek dengan kondisi lingkungan yang ada dan
dia cenderung tidak terlalu memikirkan hal itu.
Saya anggap hal itu wajar mas, namanya juga manusia
pasti ada yang mendukung dan ada juga yang tidak.
·
c.2.2.
menyadari apa yang dikatakannya dan akibatnya mampu
menyimak apa yang sedang dikatakan dan menentukan apa yang akan dikatakan
selanjutnya.
Ptr menyadari bahwasannya apa yang telah di kerjakan itu tidak baik tapi dia beranggapan bahwasannya semua itu karena masalah perut dan dikarenakan konsumen yang tiap harinya makin banyak.
Ptr menyadari bahwasannya apa yang telah di kerjakan itu tidak baik tapi dia beranggapan bahwasannya semua itu karena masalah perut dan dikarenakan konsumen yang tiap harinya makin banyak.
Saya menganggap warung kopi
pangku itu tidak baik akan tetapi mau gimana lagi ini masalah kebutuhan hidup
dan semakin hari pengunjung saya juga semakin banyak..
.
c.3.
Masyarakat
c.3.1. pranata
sosial seharusnya hanya menetapkan apa yang sebaiknya dilakukan individu
Hampir
setiap hari PTR mendapatkan respon
positif dan negatif dari lingkungan yang ada serta dari sahabat dan keluarga
yang tau tentang bisnis tersebut menyuruh PTR untuk berhenti pada bisnis
tersebut dan beralih ke usaha yang lain.
Hampir setiap keluarga saya menyuruh untuk berhenti dari bisnis
ini dan memulai usaha baru yang lebih baik akan tetapi saya selalu menyangkal
karena untuk kepentingan kehidupan sehari-hari.
D. Pembahasan
Dari
narasumber yang ada di temukan
banyak fakta yang ada di lapangan, bahwasannya warkop pangku sudah alih fungsi
yang dulu menjadi tempat melakukan pelecehan seksual kepada pelayan warung kopi
dan hanya sebagai tempat mendengar musik remix atau dangdut yang di temani pelayan wanita sekarang sudah
beralih fungsi menjadi tempat untuk minum kopi dan di temani dengan pelayan
wanita yang memakai pakaian minim serta bisa berkaraoke dengan mereka asalkan
berlaku sopan.
PTR mengatakan bahwasannya motivasi dia
membuat warkop adalah untuk pemenuhan kebutuhan yang berarti untuk mencari
materi demi bertahan hidup.
Selama bisnis warkop pangku ini masih
aman, menjajikan dan tidak ada opsi untuk berbisnis di lain bidang apalagi
konsumennya menurut PTR tiap hari semakin bertambah banyak. Tidak di tentukan
sampai kapan bisnis ini akan berhenti walaupun sesungguhnya PTR sendiri
mengakui kalau bisnis yang dilakukan ini di bidang warkop pangku itu kurang
baik dan rawan terjadi tindak pelecehan seksual serta kejahatan bentuk apapun.
PTR juga menjelaskan bahwa cara pandang
orang sekitarnya tentang dia yang membuka bisnis warung kopi pangku, ada yang
bersudut pandang positif ada juga yang negatif akan tetapi PTR menganggap itu
secara santai dikarenakan itu hak mereka untuk berpersepsi trhdp PTR seperti
apa.
Dalam perjalanan bisnisnya PTR tidak
jarang untuk sekedar di nasihati orang sekitarnya baik lingkungan terdekatnya
yakni keluarga ataupun teman-teman yang memang peduli terhadap dia untuk
berhenti dari bisnis tersebut dan beralih kepada bisnis yang lain. Akan tetapi
kembali lagi untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan daya beli masyarakat
yang tiap hari semakin meninggi memaksakan PTR tetap melaksanakn bisnis
trsebut.
BAB V
Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan
Dalam mini riset ini
ditemukan bahwa warung kopi pangku untuk saat ini sudah beralih fungsi sebagai
tempat karaoke dan bukan tempat yang bisa digunakan untuk pelecehan seksual pelayan wanita yang ada
Secara umum gambaran warkop kopi pangku di tunjang
dari kebutuhan pasar yang besar dan adanya nwarung kopi pangku menurut
narasumber yang ada dikarenakan untuk pemenuhan kebutuhan pemilik pada hal
materi
B. Saran
Permasalahan mendasar
dalam penelitian ini adalah bahwa waktu pelaksanaan penelitian terlalu sedikit
sehingga data yang ditemukan juga belum terlalu mendalam. Selain masalah waktu,
masalah lain adalah jumlah narasumber yang terlalu sedikit. Masih dibutuhkan
penambahan narasumber lagi untuk mendapatkan data yang akurat, sayangnya adalah
untuk materi ini cukup sensitif dibahas. Kesensitifitasan masalah ini
mengakibatkan orang-orang yang mengalami kondisi ini sangan susah untuk digali datanya terlalu mendalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar