PENYALAHGUNAAN DAN KETERGANTUNGAN ZAT
Penggolongan Gangguan Yang Berkaitan Dengan ZatDSM-VI menggolongkan gangguan yang berkaitan dengan zat kedalam dua kategori besar, yaitu :
1) Gangguan Penggunaan Zat (Substance Disorders)
Penggunaan maladaptif dari zat psikoaktif, meliputi penyalahagunaan zat dan ketergantungan zat.
2) Gangguan Akibat Penggunaan Zat (substance-incluced disorders)
Adalah gangguan yang muncul karena penggunaan zat psikoaktif seperti intoksikasi (mabuk), putus zat, gangguan mood, derilium, dimensia, amnesia, gangguan psikotik, gangguan kecemasan, disfungsi seksual dan tidur. Menurut DSM penyalahgunaan zat melibatkan pola penggunaan berulang yang menghasilkan konsekuensi merusak. Penyalahgunaan zat dapat berlangsung untuk jangka waktu yang panjang atau meningkat menjadi ketergantungan zat (substance dependence). Tipe gangguan pengunaan obat yang lebih parah dimana penggunaan diasosiakn dengan tanda-tanda fisiologis ketergantungan (toleransi atau gejala putus zat) atau penggunaan kompulsif dari suatu zat. Pengunaan berulang dari zat dapat mengubah reaksi fisiologis tubuh, dan menyebabkan perkembangan toleransi atau gejala putus zat secara fisik. Toleransi (tolerance) adalah kondisi habituasi fisik terhadap suatu obat sehingga dalam penggunaan obat yang sering akan membutuhkan dosis yang lebih tinggi untuk mendapatkan efek yang sama. Sindrom putus zat (withdrawal syndrome yang juga disebut sindrome abstinensi) mencakup sekelompok karakteristik gejala putus zat yang terjadi saat orang tergantung secara mendadak menghentikan pengunaan zat tertentu setelah periode penggunaan yang berat dan berkepanjangan. Orang yang mengalami gejala putus zat sering kali kembali menggunakan zat untuk menghilangkan rasa tidak nyaman akibat putus zat, yang membuat pola adiksi menetap. Pada beberapa kasus alkoholisme kronis, putus zat menyebabkan kondisi delirium tremens atau DTs. DTs mencakup hiperaktivitas yang intens secara tidak disadari dan derilium (kondisi kekacauan mental dicirikan dengan pembicaraan yang inkoheren, disorientasi, serta kegelisahan yang ekstrem).
Adiksi (addiction) sebagai penggunaan habitual dan kompulsif atau dari suatu obat diikuti dengan bukti ketergantungan fisiologis. Ketergantungan fisiologis (psysiological dependence) berarti bahwa tubuh seseorang telah berubah sedemikian rupa sebagai hasil dari penggunaan obat-obatan psikoaktif secara teratur sehingga tubuh menjadi tergantung pada pasokan zat yang stabil. Tanda-tanda utama dari ketergantungan fisiologis mencakup perkembangan toleransi dan atau sindrom abstinensi. Ketergantungan psikologis (psychological depende) mencakup penggunaan obat-obatan secara kompulsif dalam memenuhi kebutuhan psikologis seperti tergantung pada obat untuk mengatasi stress. National Comorbidity Survey (NSC) menunjukan bahwa ketergantungan obat sebenarnya kurang umum pada orang kulit putih Amerika non-Hispanik dan tidak lebih banyak pada orang Hispanik Amerika daripada kulit putih Amerika no-nHispanik.
Obat yang PERsalahgunakan
- 1. Depresan
- 2. Stimulan
- 3. Halusinogen
Perspektif Teoretis
1) Perspektif Biologis
Berfokus pada neurotransmitter terutama dopamin dan faktor genetis. Obat seperti nikotin, alkohol, amfetamin, dan sejenisnya dapat menyebabkan dampak menyenangkan dengan meningkatkan dopamin dalam sirkuitkenikmatan atau reward pada otak. Peneliti menduga penggunaan kronis obat mengurangi jumlah reseptor pada neuron penerima dimana dopamin berada. Hal itu juga mengurangi kemampuan otak dalam memproduksi dopamin sendiri. Sebagai akibatnya, kemampuan untuk merasa nikmat dari aktivitas hidup sehari-hari menurun. Pengguna obat kronis menjadi tergantung pada obat untuk memproduksi perasaan nikmat yang tidak lagi mampu diproduksi sendiri oleh otak. Selain itu, peneliti juga menduga bahwa seretonin juga mengaktivasi sirkuit kenikmatan atau reward dalam merespon kokain, alkanol, dan sejenisnya. Ada bukti yang menghubungkan faktor genetis dengan berbagai bentuk penggunaan dan penyalahgunaan zat, termasuk alkoholisme, adiksi opiat, dan bahkan merokok. Alkoholisme cenderung menurun dalam keluarga.
2) Perspektif Belajar
Teoretikus belajar menyatakan bahwa perilaku yang berhubungan dengan zat sebagian besar dipelajari dan pada prinsipnya dapat dikembalikan kebentuk sebelumnya. Mereka berfokus pada peran operant conditioning dan classical condotioning serta belajar observasional. Pada awalnya orang menggunakan obat dapat dipengaruhi oleh pengaruh sosial, trial error (coba-coba), atau pengamatan sosial. Adanya penguatan atau reinforcement positif seperti perasaan terbebas emosi negatif menjadikan seseorang kembali mengunakan obat tersebut. Reinforcement negatif seperti gejala putus obat uga dapat menyebebkan seseorang kembali menggunakan obat untuk mengurangi rasa sakit itu. Classical condisioning dapat membantu menjelaskan ketagihan obat yang dialami oleh orang dengan ketergantungan obat. Ketagihan obat memiliki dasar biologis, menggambarkan kebutuhan tubuh untuk memuluhkan tingkat zat adiktif. Namun, ketagihan juga dapat dipicu cue lingkungan yang dihubungkan dengan penggunaan zat sebelumnya. Cue yang berhubungan dengan obat seperti mencium aroma minuman beralkohol dapat menjadi stimulus terkondisi (CS) yang membangkitkan respons terkondisi (CR) dalam bentuk kegiatan yang kuat atau ketagihan obat. Peran belajar melalui modelling dan observasional meningkatkan resiko masalah penyalahgunaan zat pada remaja dalam keluarga dengan riwayat penyalahgunaan atau ketergantungan zat. Sebagai contoh, orang tua yang menjadi model dalam hal minum-minum yang tidak tepat dapat mengakomodasi penggunaan dan penyalahgunaan alkanol pada anak-anak mereka.
3) Perspektif Kognitif
Keyakinan dan harapan yang dipegang sehubungan dengan efek alkohol dan obat lain jelas mempengaruhi pilihan anda untuk menggunakan zat tersebut atau tidak. Misalnya : ekspektasi positif pada alkanol adalah bahwa alkanol mengurangi ketegangan, membantu mengalihkan perhatian seseorang dari masalahnya, meningkatkan kenikmatan, mengurangi kecemasan, pada situasi sosial dan membuat seseorang lebih terampil dalam keterampilan sosial serta kemampuan alkanol untuk meningkatkan self efficacy. Menurut model penyakit atas alkoholisme, orang yang sudah berhenti minum kemudian menjadi minum berlebihan setelah satu gelas melakukan hal tersebut sebagian besar karena alasan biokimiawi. Riset laboratorium oleh Marlatt dan koleganya menyatakan kecenderungan orang dengan alkoholisme untuk minum berlebih setelah minuman pertama merupakan self fulfilling perophecy bukan ketagihan.
4) Perspektif Psikodinamika
Menurut teoretikus psikodinamika klasik, alkoholisme mencerminkan ciri tertentu dari apa yang disebut kepribadian tergantung oral (oral dependent personality). Alkoholisme merupakan sebuah pola perilaku oral. Teoritekus psikodinamika juga memandang merokok sebagai suatu bentuk fiksasi oral.
5) Perspektif Sosiokultural
Perilaku minum ditentukan sebagian oleh dimana kita tinggal, siapa yang kita hormati, dan norma sosial atau kultural yang mengatur perilaku kita. Sikap kultural dapat mendorong atau menekan masalah minum. Penggunaan obat oleh teman sebaya dan pengaruh teman sebaya untuk menggunakan obat, merupakan pengaruh penting dalam menentukan penggunaan alkanol dan obat dikalangan remaja.
6) Perspektif Eklektis
Penyalahgunaan dan ketergantungan zat dalam pandangan ini merupakan pola perilaku yang rumit yang melibatkan faktor biologis, psikologis, dan lingkungan. Masalah penyalahgunaan dan ketergantungan zat paling baik didekati dengan meneliti susunan faktor yang berbeda dan diterapkan pada masing-masing kasus individual. Tidak ada model tunggal atau sekelompok faktor yang akan menjelaskan setiap kasus.
Penanganan Penyalahgunaan dan Ketergantungan Zat
1) Pendekatan Biologis
Pendekatan biologis pada gangguan penyalahgunaan zat termasuk detoksifikasi, penggunaan obat seperti disulfiram, metadon, nalokson, naltrekson, dan anti depresan ; dan terapi penggatian nikotin.
2) Penanganan Peka Budaya Untuk Alkoholisme
Contoh penanganannya adalah dengan penggunaan konselor dari kelomppok etnis klien sendiri. Program yang peka secara budaya memperhatikan semua sisi kehidupan manusia termasuk identitas ras dan budaya, yang meghargai kebanggaan etnis dan membantu orang bertahan godaan untuk mengatasi tekanan dengan bahan kimia. Penyedia penanganan juga dapat lebih berhasil, jika mereka mengetahui dan melibatkan teknik penyembuhan asli setempat dalam proses penanganan.
3) Kelompok Pendukung Nonprofesional
Masalah penyalahgunaan zat sering ditangani oleh orang awam atau nonprofesional. Orang seperti itu sering atau pernah memiliki masalah yang sama. Kelompok ini menyerukan abstinensi dan memberi kesempatan bagi anggotanya untuk mendiskusikan perasaan dan pengalaman mereka dalam lingkup kelompok pendukung. Sebagai contoh pertemuan self-help yang disponsori oleh organisasi Alcoholic Anonymous, Narcotic Anonymous, dan Cocain Anonymous. Anonymous didasari pada keyakinan bahwa alkoholisme adalah penyakit bukan dosa dan pengalaman didalamnya sebagian adalah spiritual.
4) Pendekatan Residental
Pendekatan ini merupakan penangan dengan melibatkan perawatan di rumah sakit atau tempat terapi. Sejumlah komunitas terapeutik residensial juga digunakan. Mereka berbagi pengalaman hidup untuk saling membantu mengembangkan cara yang lebih produktif untuk mengatasi stress.
5) Pendekatan Psikodinamika
Psikodinamika memandang penyalahgunaan dan ketergantungan zat sebagai tanda-tanda terjadinya konflik yang berakar pada pengalaman masa kecil. Diasumsikan bahwa jika konflik yang mendasar diatasi, penyalahgunaan juga akan digantikan oleh bentuk yang lebih matang dari pemenuhan kebutuhan yang dicari.
6) Pendekatan Behavioral
Behavioris menekankan pada modifikasi pola perilaku penyalahgunaan, dependent, dan masalah apakah penyalahguna dapat belajar untuk mengubah perilaku mereka ketika dihadapkan dengan godaan. Strategi self-control, suatu pelatihan self-control berfokus pada membantu penyalahguna mengembangkan keterampilan yang dapat mereka gunakan untuk mengubah perilaku mereka. Terapis perilaku menekankan pada tiga komponen :
a) Isyarat Anteseden, atau stimuli (A) yang memicu penyalahgunaan.
b) Perilaku Penyalahgunaan (B) itu sendiri.
c) Konsekuensi hukuman atau penguatan (C) yang mempertahankan atau mencegah penyalahgunaan.
Aversive Condisioning, stimulus menyakitkan atau yang menolak (aversive) dipasangkan dengan penyalahgunaan zat atau stimulus yang berhubungan dengan penyalahgunaan untuk membuat penyalahgunaan kurang menarik. Pelatihan Keterampilan Sosial dapat membantu orang untuk mengembangkan respon interpersonal yang efeektif dalam situasi sosial yang memicu penyalahgunaan zat. Terapi Perkawinan Behavioral memperbaiki komunikasi dalam perkawinan dan keterampilan dalam meyelesaikan masalah untuk membebaskan stress rumah tangga yang dapat menjadi pemicu penyalahgunaan.
7) Pelatihan Pencegahan Kambuh
Karena adanya prevalensi kambuh, para terapi beraliran behavioral mendesain sejumlah metode yang disebut pelatihan pencegahan kambuh (relapse prevention training). Pelatihan semacam ini membantu orang dengan masalah penyalahgunaan zat mengatasi situasi beresiko tinggi dan mencegah mereka tergelincir untuk menjadi kambuh total. Pelatihan pencegahan kambuh merupakan teknik kognitif behavioral yang berfokus pada interpretasi seseorang akan kemungkinan kambuh. Klien diajari untuk menghindari apa yang disebut efek pelanggaran abstinensi (abstinence violation effect), kecenderungan untuk berlebihan setelah penggunaan kembali dengan belajar mengatur kembali pikiran mereka tentang hal itu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar