SEJARAH DAN PENDEKATAN PSIKOPATOLOGI
Selama rentang sejarah budaya barat, konsep
perilaku abnormal telah dibentuk dalam beberapa hal oleh pandangan dunia (worldview)
yang berlaku pada saat itu. Juga sepanjang sejarah, keyakinan akan kekuatan
supranatural, setan, dan roh jahat telah sangat mendominasi. Perilaku abnormal
seringkali dianggap sebagai tanda kerasukan (possession). Pada masa
kini yang lebih modern, pandangan dunia secara umumnya meski tak berarti
universal, telah berganti pada keyakinan terhadap ilmu dan nalar (reason).
Dalam budaya psikologi, perilaku abnormal telah dipandang sebagai produk dari
faktor fisik dan psikososial, bukan akibat dari kerasukan setan.
- A. Model Demonologi
Pada zaman prasejarah, para ahli arkeologi telah
menemukan kerangka manusia dari zaman batu dengan lubang sebesar telur pada
tengkoraknya. Satu asumsi yang muncul terhadap lubang tersebut adalah bahwa
nenek moyang kita di zaman prasejarah percaya bahwa perilaku abnormal
merefleksikan serangan dari roh-roh jahat terhadap mereka. Mungkin mereka
menggunakan cara kasar yang disebut trephination yaitu dengan menciptakan
sebuah jalur melalui tengkorak sebagai jalan keluar bagi roh marah tersebut.
Pertumbuhan tulang yang baru mendeskripsikan bahwa sejumlah orang mampu
bertahan hidup dari siksaan tersebut.
Mengaitkan perilaku abnormal dan penyebab
supranatural ataupun hal-hal gaib disebut sebagai model demonologi.
Orang zaman purba mengaitkan bencana alam dengan kehendak Tuhan dan arwah.
Bangsa Babylonia purba juga percaya bahwa pergerakan bintang dan planet
ditentukan oleh perjalanan dan konflik dari para dewa. Disisi lainnya, bangsa
Yunani kuno percaya bahwa dewa-dewa mereka memperlakukan manusia sebagai
mainan. Saat para dewa itu marah, mereka dapat menciptakan bencana alam untuk
mendatangkan malapetaka pada orang-orang yang kurang ajar atau angkuh, bahkan
menyelimuti pikiran mereka dengan ketidakwarasan. Pada zaman Yunani kuno, orang
yang berperilaku secara abnormal sering dikirim kekuil untuk dipersembahkan
pada Aesculapius, yaitu dewa penyembuhan. Para
pendeta percaya bahwa Aesculapius akan mengunjungi orang-orang yang menderita
ketika mereka tertidur didalam kuil dan memberikan saran penyembuhan melalui
mimpi. Istirahat, diet nutrisi, dan olahraga juga dipercaya dapat membantu
penanganan. Ketidaksembuhan juga ditentukan oleh kuil dengan membuat orang
tersebut tidak sensitif.
- Asal Mula Model Medis : Dalam “Cairan Tubuh yang Memicu Penyakit”
Hipocrates (460-377 SM) adalah seorang dokter
terkenal pada zaman keemasan Yunani yang menantang keyakinan konservatif pada
masanya dengan menyatakan bahwa penyakit pada tubuh dan jiwa merupakan hasil
dari penyebab yang naturalis, bukan karena penguasaan oleh kekuatan
supranatural. Beliau yakin bahwa kesehatan tubuh dan jiwa tergantung pada
keseimbangan cairan tubuh (humors), atau cairan vital, di dalam tubuh : lendir,
cairan empedu hitam, darah dan cairan empedu kuning. Orang yang tidak bertenaga
atau lambat, diasumsikannya memiliki kelebihan lendir (phlegm), yang
kemudian menjadi asal kata plegmatis (phlegmatic). Berlebihnya cairan
empedu hitam diyakini menyebabkan depresi, atau melankolia (melancholia). Serta
terlalu banyak darah dapat menimbulkan disposisi sanguinis (sanguine)
: ceria, percaya diri, dan optimis. Kelebihan cairan empedu kuning membuat
orang-orang menjadi murung, dan koleris (choleric), yaitu mudah marah.
Meskipun kita tidak lagi menganut teori Hippocrates tentang cairan ketubuhan,
teorinya memiliki riwayat historis yang penting karena penyimpangannya dari
konsep demonologi kuno. Teori ini juga mengawali perkembangan model medis yang
modern, yaitu pandangan bahwa perilaku abnormal merupakan hasil dari proses
biologis yang melatar belakanginya. Hipocrates telah mulai mengklasifikasikan
pola-pola perilaku abnormal, dengan menggunakan tiga kelas utama yang memiliki
sejumlah kesamaan, dimana melankolia untuk menandai
depresi yang berlebihan, manaik untuk mengacu pada kegembiraan
yang berlebihan, dan ferenitis utuk menandai bentuk perilaku
aneh yang mungkin pada saat ini mencirikan skizofrenia.
- Zaman Pertengahan
Keyakinan terhadap penyebab supranatural, terutama
doktrin tentang penguasaan oleh roh jahat, meningkat pengaruhnya ,dan akhirnya
mendominasi pemikiran pada zaman pertengahan. Doktrin tentang penguasaan oleh
roh jahat meyakini bahwa perilaku abnormal merupakan suatu tanda kerasukan oleh
roh jahat atau iblis. Keyakinan ini dibubuhkan kedalam ajaran gereja katolik
Roma, yang menjadi kekuatan pemersatu di Eropa Barat, setelah runtuhnya
kekaisaran Roma tentunya. Sebagai pilihan dalam menanganani perilaku abnormal
adalah dengan pengusiran roh jahat (exorcism). Para
pengusir roh jahat dipekerjakan untuk meyakinkan roh jahat bahwa tubuh korban
yang mereka tuju pada dasarnya tidak dapat dihuni. Metode-metodenya meliputi
berdoa, mengayun-ayunkan tanda salib kehadapan korban, memukul dan mencambuk,
bahkan membuat korban menjadi lapar. Apabila korban masih menunjukkan perilaku
yang tidak sepatutnya, terdapat pengobatan yang bahkan lebih kuat, seperti
penyiksaan, dengan peralatan untuk menyiksa. Tampak jelas bahwa penerima
“pengobatan” tersebut akan termotivasi untuk menyesuaikan perilaku mereka
sebaik mungkin sesuai dengan harapan sosial.
- Ilmu Sihir
Pada akhir abad ke-15 sampai akhir abad ke-17,
yang merupakan masa dimana terjadi penganiayaan-penganiayaan terhadap
orang-orang yang dituduh memiliki ilmu sihir. Lalu muncul tes-tes
diagnostik yang kreatif untuk mendeteksi penguasaan oleh roh jahat dan ilmu
sihir. Dalam kasus tes terapung di air, orang yang tidak bersalah
ditenggelamkan sebagaai cara untuk meyakinkan bahwa mereka tidak dirasuki oleh
iblis. Tes terapung di air didasarkan pada prinsip bahwa logam murni tetap
berada didasar selama peleburan, sedangkan yang tiruan muncul kepermukaan.
Tertuduh yang dapat mempertahankan kepala mereka di atas permukaan air dianggap
bersekutu dengan iblis. Oleh karenanya mereka benar-benar berada dalam
kesulitan. Percobaan ini merupakan sumber frase yang berbunyi
“terkutuklah jika engkau melakukan dan terkutuklah jika tidak” (damn if you
do and damn if you don’t). Akademisi modern pernah meyakini bahwa
orang-orang yang disebut sebagai penyihir pada abad pertengahan dan zaman
renaisensse sebenarnya merupakan orang-orang yang mengalami gangguan secara
mental. Mereka diyakini dianiaya karena perilaku abnormal mereka dianggap sebagai
bukti bahwa mereka bersekutu dengan iblis. Adalah benar bahwa banyak dari
penyihir yang diduga mengaku telah melakukan perilaku yang tidak mungkin,
seperti terbang atau melakukan hubungan seksual dengan iblis. Dilain sisi,
pengakuan semacam itu mungkin mengacu pada gangguan dalam pikiran dan persepsi
yang konsisten dengan diagnosis modern tentang gangguan psikologis, seperti
skizofrenia.
Meskipun setan diyakini memainkan peranan baik
dalam perilaku abnormal, maupun ilmu sihir, tapi terdapat perbedaan antara
keduanya. Korban dari kerasukan oleh roh jahat kemungkinan dipersepsikan
dirundung hal itu sebagai balasan atas pelanggaran yang telah dilakukan, tapi
beberapa orang yang menunjukkan perilaku abnormal dianggap merupakan korban
yang tidak berdosa dari penguasaan setan tersebut. Namun, penyihir diyakini
secara sukarela memasuki persekutuan dengan iblis dan meninggalkan Tuhan.
Penyihir biasanya dipandang lebih pantas untuk mengalami penyiksaan, dan
eksekusi hukuman mati.
- Rumah Sakit Jiwa
Pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16, rumah
sakit jiwa , atau penampungan untuk orang gila, mulai menjamur di seluruh
Eropa. Banyak yang sebelumnya merupakan leprosariun (tempat perawatan untuk
penderita lepra), yang tidak lagi dibutuhkan karena berkurangnya penyakit lepra
pada akhir abad pertengahan. Rumah sakit jiwa acapkali memberikan perlindungan
bagi para pengemis sebagaimana orang yang mengalami gangguan, dan kondisi di
tempat itu biasanya mengerikan. Para
penghuninya acapkali dirantai di tepi tempat tidur mereka dan dibiarkan
terbaring di tengah kotoran mereka atau berkeluyuran tanpa ada yang
membantunya.
- Gerakan Reformasi dan Terapi Mental
Sejak tahun 1784 hingga 1802, Pusin, seorang awam,
ditempatkan sebagai penguasa suatu bangsal untuk orang-orang yang dianggap gila
tidak tersembuhkan pada La BicĂȘtre, sebuah rumah sakit mental besar di
kota Paris. Orang-orang yang tidak beruntung tersebut telah dianggap terlalu
berbahaya dan tidak dapat diramalkan perilakunya jika dibiarkan tidak dirantai.
Namun, Pusin meyakini apabila mereka dirawat dengan kebaikan hati, maka mereka
tidak perlu dirantai. Sebagaimana yang diperkirakannya, kebanyakan dari mereka
yang dikurung menjadi lebih mudah ditangani dan tenang saat rantai mereka
dilepaskan. Mereka dapat berjalan di halaman rumah saki dan menghirup udara
segar. Pinel (1746-1826) melanjutkan penanganan manusiawi yang telah dimulai
oleh Pussin. Ia menghentikan prektek-prektek yang kasar, seperti melukai dan
mensucikan penderita, dan memindahkan pasien dari kamar bawah tanah yang gelap
kekamar yang memiliki ventilasi yang baik dan terkena sinar matahari. Pinel
juga menghabiskan waktu berjam-jam untuk berbicara dengan para penghuni, dengan
keyakinan bahwa dengan memberikan pengertian dan kepedulian akan membantu
penyembuhan mereka untuk kembali berfungsi secara normal. Filosofis penanganan
yang muncul dari upaya ini disebut terapi moral. Terapi ini didasarkan pada
keyakinan bahwa memberikan penanganan yang manusiawi dalam lingkungan yang
santai dan layak dapat mengembalikan fungsi individu menjadi normal kembali.
- Suatu Langkah Mundur
Pada paruh terakhir abad ke-19, keyakinan bahwa
perilaku abnormal dapat berhasil ditangani atau disembuhkan dengan terapi moral
menjadi kurang disukai (USDHHS, 1999a). Rumah sakit mental menjadi tempat yang
menakutkan. Kondisi rumah sakit yang menyedihkan tetap menjadi hal yang umum
hingga pertengahan abad ke-20. Walaupun sejumlah rumah sakit negara yang bagus
menyediakan perawatan yang layak dan manusiawi, banyak yang digambarkan tidak
lebih sebagai sarang macan bagi manusia. Para
penghuni sering dijejalkan di dalam bangsal yang bahkan tidak memiliki sanitasi
yang baik. Banyak pasien menerima sedikit perawatan profesional dan
diperlakukan tidak manusiawi oleh staf-staf yang kurang terlatih dan kurang mendapatkan
pengawasan.
Selama rentang sejarah budaya barat, konsep
perilaku abnormal telah dibentuk dalam beberapa hal oleh pandangan dunia (worldview)
yang berlaku pada saat itu. Juga sepanjang sejarah, keyakinan akan kekuatan
supranatural, setan, dan roh jahat telah sangat mendominasi. Perilaku abnormal
seringkali dianggap sebagai tanda kerasukan (possession). Pada masa
kini yang lebih modern, pandangan dunia secara umumnya meski tak berarti
universal, telah berganti pada keyakinan terhadap ilmu dan nalar (reason).
Dalam budaya psikologi, perilaku abnormal telah dipandang sebagai produk dari
faktor fisik dan psikososial, bukan akibat dari kerasukan setan.
- A. Model Demonologi
Pada zaman prasejarah, para ahli arkeologi telah
menemukan kerangka manusia dari zaman batu dengan lubang sebesar telur pada
tengkoraknya. Satu asumsi yang muncul terhadap lubang tersebut adalah bahwa
nenek moyang kita di zaman prasejarah percaya bahwa perilaku abnormal
merefleksikan serangan dari roh-roh jahat terhadap mereka. Mungkin mereka
menggunakan cara kasar yang disebut trephination yaitu dengan menciptakan
sebuah jalur melalui tengkorak sebagai jalan keluar bagi roh marah tersebut.
Pertumbuhan tulang yang baru mendeskripsikan bahwa sejumlah orang mampu
bertahan hidup dari siksaan tersebut.
Mengaitkan perilaku abnormal dan penyebab
supranatural ataupun hal-hal gaib disebut sebagai model demonologi.
Orang zaman purba mengaitkan bencana alam dengan kehendak Tuhan dan arwah.
Bangsa Babylonia purba juga percaya bahwa pergerakan bintang dan planet
ditentukan oleh perjalanan dan konflik dari para dewa. Disisi lainnya, bangsa
Yunani kuno percaya bahwa dewa-dewa mereka memperlakukan manusia sebagai
mainan. Saat para dewa itu marah, mereka dapat menciptakan bencana alam untuk
mendatangkan malapetaka pada orang-orang yang kurang ajar atau angkuh, bahkan
menyelimuti pikiran mereka dengan ketidakwarasan. Pada zaman Yunani kuno, orang
yang berperilaku secara abnormal sering dikirim kekuil untuk dipersembahkan
pada Aesculapius, yaitu dewa penyembuhan. Para
pendeta percaya bahwa Aesculapius akan mengunjungi orang-orang yang menderita
ketika mereka tertidur didalam kuil dan memberikan saran penyembuhan melalui
mimpi. Istirahat, diet nutrisi, dan olahraga juga dipercaya dapat membantu
penanganan. Ketidaksembuhan juga ditentukan oleh kuil dengan membuat orang
tersebut tidak sensitif.
- Asal Mula Model Medis : Dalam “Cairan Tubuh yang Memicu Penyakit”
Hipocrates (460-377 SM) adalah seorang dokter
terkenal pada zaman keemasan Yunani yang menantang keyakinan konservatif pada
masanya dengan menyatakan bahwa penyakit pada tubuh dan jiwa merupakan hasil
dari penyebab yang naturalis, bukan karena penguasaan oleh kekuatan
supranatural. Beliau yakin bahwa kesehatan tubuh dan jiwa tergantung pada
keseimbangan cairan tubuh (humors), atau cairan vital, di dalam tubuh : lendir,
cairan empedu hitam, darah dan cairan empedu kuning. Orang yang tidak bertenaga
atau lambat, diasumsikannya memiliki kelebihan lendir (phlegm), yang
kemudian menjadi asal kata plegmatis (phlegmatic). Berlebihnya cairan
empedu hitam diyakini menyebabkan depresi, atau melankolia (melancholia). Serta
terlalu banyak darah dapat menimbulkan disposisi sanguinis (sanguine)
: ceria, percaya diri, dan optimis. Kelebihan cairan empedu kuning membuat
orang-orang menjadi murung, dan koleris (choleric), yaitu mudah marah.
Meskipun kita tidak lagi menganut teori Hippocrates tentang cairan ketubuhan,
teorinya memiliki riwayat historis yang penting karena penyimpangannya dari
konsep demonologi kuno. Teori ini juga mengawali perkembangan model medis yang
modern, yaitu pandangan bahwa perilaku abnormal merupakan hasil dari proses
biologis yang melatar belakanginya. Hipocrates telah mulai mengklasifikasikan
pola-pola perilaku abnormal, dengan menggunakan tiga kelas utama yang memiliki
sejumlah kesamaan, dimana melankolia untuk menandai
depresi yang berlebihan, manaik untuk mengacu pada kegembiraan
yang berlebihan, dan ferenitis utuk menandai bentuk perilaku
aneh yang mungkin pada saat ini mencirikan skizofrenia.
- Zaman Pertengahan
Keyakinan terhadap penyebab supranatural, terutama
doktrin tentang penguasaan oleh roh jahat, meningkat pengaruhnya ,dan akhirnya
mendominasi pemikiran pada zaman pertengahan. Doktrin tentang penguasaan oleh
roh jahat meyakini bahwa perilaku abnormal merupakan suatu tanda kerasukan oleh
roh jahat atau iblis. Keyakinan ini dibubuhkan kedalam ajaran gereja katolik
Roma, yang menjadi kekuatan pemersatu di Eropa Barat, setelah runtuhnya
kekaisaran Roma tentunya. Sebagai pilihan dalam menanganani perilaku abnormal
adalah dengan pengusiran roh jahat (exorcism). Para
pengusir roh jahat dipekerjakan untuk meyakinkan roh jahat bahwa tubuh korban
yang mereka tuju pada dasarnya tidak dapat dihuni. Metode-metodenya meliputi
berdoa, mengayun-ayunkan tanda salib kehadapan korban, memukul dan mencambuk,
bahkan membuat korban menjadi lapar. Apabila korban masih menunjukkan perilaku
yang tidak sepatutnya, terdapat pengobatan yang bahkan lebih kuat, seperti
penyiksaan, dengan peralatan untuk menyiksa. Tampak jelas bahwa penerima
“pengobatan” tersebut akan termotivasi untuk menyesuaikan perilaku mereka
sebaik mungkin sesuai dengan harapan sosial.
- Ilmu Sihir
Pada akhir abad ke-15 sampai akhir abad ke-17,
yang merupakan masa dimana terjadi penganiayaan-penganiayaan terhadap
orang-orang yang dituduh memiliki ilmu sihir. Lalu muncul tes-tes
diagnostik yang kreatif untuk mendeteksi penguasaan oleh roh jahat dan ilmu
sihir. Dalam kasus tes terapung di air, orang yang tidak bersalah
ditenggelamkan sebagaai cara untuk meyakinkan bahwa mereka tidak dirasuki oleh
iblis. Tes terapung di air didasarkan pada prinsip bahwa logam murni tetap
berada didasar selama peleburan, sedangkan yang tiruan muncul kepermukaan.
Tertuduh yang dapat mempertahankan kepala mereka di atas permukaan air dianggap
bersekutu dengan iblis. Oleh karenanya mereka benar-benar berada dalam
kesulitan. Percobaan ini merupakan sumber frase yang berbunyi
“terkutuklah jika engkau melakukan dan terkutuklah jika tidak” (damn if you
do and damn if you don’t). Akademisi modern pernah meyakini bahwa
orang-orang yang disebut sebagai penyihir pada abad pertengahan dan zaman
renaisensse sebenarnya merupakan orang-orang yang mengalami gangguan secara
mental. Mereka diyakini dianiaya karena perilaku abnormal mereka dianggap sebagai
bukti bahwa mereka bersekutu dengan iblis. Adalah benar bahwa banyak dari
penyihir yang diduga mengaku telah melakukan perilaku yang tidak mungkin,
seperti terbang atau melakukan hubungan seksual dengan iblis. Dilain sisi,
pengakuan semacam itu mungkin mengacu pada gangguan dalam pikiran dan persepsi
yang konsisten dengan diagnosis modern tentang gangguan psikologis, seperti
skizofrenia.
Meskipun setan diyakini memainkan peranan baik
dalam perilaku abnormal, maupun ilmu sihir, tapi terdapat perbedaan antara
keduanya. Korban dari kerasukan oleh roh jahat kemungkinan dipersepsikan
dirundung hal itu sebagai balasan atas pelanggaran yang telah dilakukan, tapi
beberapa orang yang menunjukkan perilaku abnormal dianggap merupakan korban
yang tidak berdosa dari penguasaan setan tersebut. Namun, penyihir diyakini
secara sukarela memasuki persekutuan dengan iblis dan meninggalkan Tuhan.
Penyihir biasanya dipandang lebih pantas untuk mengalami penyiksaan, dan
eksekusi hukuman mati.
- Rumah Sakit Jiwa
Pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16, rumah
sakit jiwa , atau penampungan untuk orang gila, mulai menjamur di seluruh
Eropa. Banyak yang sebelumnya merupakan leprosariun (tempat perawatan untuk
penderita lepra), yang tidak lagi dibutuhkan karena berkurangnya penyakit lepra
pada akhir abad pertengahan. Rumah sakit jiwa acapkali memberikan perlindungan
bagi para pengemis sebagaimana orang yang mengalami gangguan, dan kondisi di
tempat itu biasanya mengerikan. Para
penghuninya acapkali dirantai di tepi tempat tidur mereka dan dibiarkan
terbaring di tengah kotoran mereka atau berkeluyuran tanpa ada yang
membantunya.
- Gerakan Reformasi dan Terapi Mental
Sejak tahun 1784 hingga 1802, Pusin, seorang awam,
ditempatkan sebagai penguasa suatu bangsal untuk orang-orang yang dianggap gila
tidak tersembuhkan pada La BicĂȘtre, sebuah rumah sakit mental besar di
kota Paris. Orang-orang yang tidak beruntung tersebut telah dianggap terlalu
berbahaya dan tidak dapat diramalkan perilakunya jika dibiarkan tidak dirantai.
Namun, Pusin meyakini apabila mereka dirawat dengan kebaikan hati, maka mereka
tidak perlu dirantai. Sebagaimana yang diperkirakannya, kebanyakan dari mereka
yang dikurung menjadi lebih mudah ditangani dan tenang saat rantai mereka
dilepaskan. Mereka dapat berjalan di halaman rumah saki dan menghirup udara
segar. Pinel (1746-1826) melanjutkan penanganan manusiawi yang telah dimulai
oleh Pussin. Ia menghentikan prektek-prektek yang kasar, seperti melukai dan
mensucikan penderita, dan memindahkan pasien dari kamar bawah tanah yang gelap
kekamar yang memiliki ventilasi yang baik dan terkena sinar matahari. Pinel
juga menghabiskan waktu berjam-jam untuk berbicara dengan para penghuni, dengan
keyakinan bahwa dengan memberikan pengertian dan kepedulian akan membantu
penyembuhan mereka untuk kembali berfungsi secara normal. Filosofis penanganan
yang muncul dari upaya ini disebut terapi moral. Terapi ini didasarkan pada
keyakinan bahwa memberikan penanganan yang manusiawi dalam lingkungan yang
santai dan layak dapat mengembalikan fungsi individu menjadi normal kembali.
- Suatu Langkah Mundur
Pada paruh terakhir abad ke-19, keyakinan bahwa
perilaku abnormal dapat berhasil ditangani atau disembuhkan dengan terapi moral
menjadi kurang disukai (USDHHS, 1999a). Rumah sakit mental menjadi tempat yang
menakutkan. Kondisi rumah sakit yang menyedihkan tetap menjadi hal yang umum
hingga pertengahan abad ke-20. Walaupun sejumlah rumah sakit negara yang bagus
menyediakan perawatan yang layak dan manusiawi, banyak yang digambarkan tidak
lebih sebagai sarang macan bagi manusia. Para
penghuni sering dijejalkan di dalam bangsal yang bahkan tidak memiliki sanitasi
yang baik. Banyak pasien menerima sedikit perawatan profesional dan
diperlakukan tidak manusiawi oleh staf-staf yang kurang terlatih dan kurang mendapatkan
pengawasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar